Tidakkah Kami Mempunyai Hak?

Pengarang                 : Mabel Williamson

Prakata                       : Pdt. Dr. Stephen Tong

Kata Pengantar         : James M. Boice

Penerbit                     : Momentum

Tempat Terbit           : Surabaya

Tahun Terbit             : Sept 2007

Tebal Buku               : 139 hlm.

 

Buku rohani ini secara garis besar bercerita tentang seorang Kristen yang harus rela melepaskan haknya ketika sungguh ingin melayani Tuhan. Mereka yang terpanggil untuk melayani Tuhan menyadari bahwa sesungguhnya orang tersebut tidak mempunyai hak atas apapun yang dipertahankan dari dirinya. Buku ini adalah terjemahan dari buku berjudul “Have We No Rights?” oleh Mabel Williamson. Beliau adalah seorang missionaris yang mengawali pelayanannya dengan China Inland Mission yang dikenal sekarang dengan nama OMF (Overseas Missionary Fellowship) tahun 1934. China Inland Mission(CIM) sendiri pertama kali didirikan oleh seorang missionarist dari Inggris terkenal bernama Hudson Taylor tahun 1865. Gambar cover buku ini adalah lukisan Tuhan Yesus yang mencuci kaki para murid. Buku ini bisa didapatkan di toko buku Kristen Momentum dan beberapa toko buku Kristen lainnya di Jakarta dengan harga Rp.40.000

Penulis buku ini membagi bukunya dalam 12 bab. 11 bab pertama menceritakan bagaimana seorang missionarist harus melepaskan hak-hak pribadi yang menjadi ikatan sulit untuk dilepaskan bahkan sering menjadi penghambat dalam ladang pelayanan. Setiap uraian dalam tiap bab membawa kita kepada satu perenungan dalam apa arti menjadi pengikut Kristus, hamba Tuhan dan missionarist. Kontent yang disajikan oleh tiap bab-nya akan menghantam pembaca di tempat yang paling peka. Ide mengenai hak-hak pribadi yang sering diperjuangkan oleh manusia bahkan lembaga hukum yang membela hak asasi manusia sering kali ber-oposisi dengan penguraian dari buku ini. Dengan tajam, penulis mengusik kenyamanan dan kesenangan diri sebagai seorang pelayan di ladang misi, khususnya missionarist.

Jika ditelaah, buku ini memberikan gambaran umum tentang budaya dan adat-istiadat Chinese di Cina. Tentu saja menjadi kesulitan bagi penulis yang sangat kental dengan budaya dan adat-istiadat western di awal pelayanannya untuk beradaptasi dengan budaya tersebut. Tetapi pada akhirnya penulis memberikan solusi bagi pembaca bagaimana mengatasi konflik antara 2 budaya besar tersebut. Solusinya adalah dengan merenungkan kembali arti menyangkali diri sendiri sebagai orang Kristen yang sudah dikuduskan oleh Tuhan Allah. Dalam hati terdalam seorang missionaris atau seorang hamba Tuhan, terkadang keinginan untuk mempertahankan hak sebagai manusia timbul dalam ladang misi. Namun, penulis memberikan uraian tentang hak-hak apa yang harus dilepaskan di ladang misi untuk kebaikan pelayanan yang membawa kemuliaan bagi nama Tuhan.

Pada bab terakhir dari buku ini, penulis menjelaskan mengapa kita harus rela melepaskan hak-hak pribadi kita. Penulis juga memberikan final thesis dari buku ini yaitu bahwa sebenarnya kita tidak mempunyai hak. Alasan yang diberikan penulis mengapa kita tidak mempunyai hak adalah bahwa DIA, ketika datang ke dalam dunia “tidak mempunyai hak” kecuali hak untuk menanggung penderitaan, penghinaan, caci maki, pukulan, cibiran, ludahan dan mengambil tempat sebagai orang berdosa untuk menggantikan saya dan saudara pembaca sekalian. Jika KRISTUS tidak mempunyai hak, lantas apakah hak kita untuk menuntuk hak-hak pribadi kita? Bagian penutup dari buku ini sangat indah karena diakhiri dengan teladan agung Kristus dalam melepaskan hakNya sebagai Anak Allah.

Buku ini memiliki beberapa kelebihan, setidaknya ada 4 yang saya catat yaitu pertama, memberikan banyak ilustrasi menarik untuk mengerti pembahasannya. Kedua, menggambarkan jurang perbedaan budaya yang besar antara pelayan dan yang dilayani. Ketiga, menggugah dan mendorong pembaca untuk berkeinginan “belajar” menyangkal diri dan melepaskan hak-hak pribadinya. Keempat, penulis sangat tepat dalam memilih judul yang baik (provocative) untuk buku maupun tema tiap bab-nya. Berbicara soal kekurangan buku ini, pembahasan pada bab terakhir sangat singkat. Hanya memberikan point-point yang sebenarnya bisa digali lebih dalam dengan memberikan pandangan alkitabiah tentang Kristus yang tidak mempunyai hak. Soli Deo Gloria