Kasih Allah yang Bersyarat dan Tanpa Syarat

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman11-2.

“Kasih Allah adalah tanpa syarat.” Apakah ini benar? Terus terang, itu benar dalam beberapa cara yang Alkitab gunakan dalam berbicara mengenai kasih Allah. Contohnya, kasih Allah yang providensial adalah tanpa syarat, karena kasih ini dicurahkan baik kepada orang benar maupun tidak benar. Kasih Allah yang memilih adalah tanpa syarat, karena secara mutlak tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah (Rm. 8:31-39). Tetapi kasih Allah yang dikatakan dalam Sepuluh Perintah dan Yohanes 15 dan Yudas 21… jelas-jelas bersyarat. Lagi, orang-orang Kristen sering berkata, “Allah mengasihi setiap orang dengan cara yang sama dan dengan taraf yang sama.” Benarkah itu? Dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai kasih Allah bagi orang yang benar dan yang tidak benar, kelihatannya pendapat ini pasti benar. Dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai kasih Allah yang memilih, kelihatannya pendapat ini pasti salah. Dan dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai kasih Allah yang bersyaratkan ketaatan, maka kasih-Nya kepada individu-individu yang berbeda juga akan berbeda sesuai dengan ketaatan mereka.

Kasih Allah yang Memilih

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 9.

Kasih Allah yang memilih, kasih-Nya yang selektif. Dia adalah Allah yang memilih Israel – bukan karena Israel lebih besar atau lebih kuat atau lebih mengesankan daripada bangsa-bangsa lain, tetapi karena Dia mengasihinya (Ul. 7:7-8; 10:15). Ini tidak boleh dikacaukan dengan perikop-perikop yang berbicara tentang kasih Allah yang providensial, karena setiap orang tanpa kecuali adalah penerima kasih itu, sementara di sini seluruh maksudnya adalah bahwa kasih Allah membuat pembedaan. Itu sebabnya Allah dapat meringkas kasih ini dengan menunjuk kepada kategori yang membedakan: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau,” firman Allah (Mal. 1:2-3) – suatu pembedaan, demikian Paulus menunjukkan, yang didasarkan pada pikiran Allah sebelum Yakub atau Esau “dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat” (Rm. 9:10-12). Sama halnya di Perjanjian Baru: “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef. 5:25). Cara-cara berbicara seperti ini harus dibedakan dari perikop-perikop yang berbicara tentang kasih Allah yang merindukan dan mengundang, terlebih lagi dari perikop-perikop yang berbicara tentang kasih-Nya yang providensial kepada semua orang tanpa pembedaan.

Penghakiman dengan Kasih

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 49-51.

Penghakiman dengan kasih ialah evaluasi terhadap orang-orang lain yang dilembutkan oleh kasih. Penghakiman dengan kasih tidak mempersalahkan sebelum ada alasan yang kuat dan tidak tergoda untuk melontarkan tuduhan-tuduhan keji yang tidak berperasaan. Penghakiman ini dilakukan dengan kasih yang bebas dari iri hati dan kebencian… Agar kasih yang percaya mampu bertahan di tengah konflik dan pertentangan yang melanda setiap hubungan antar manusia, kita perlu mengambil sikap praduga tidak bersalah, suatu kecapakan dalam mewujudkan penghakiman dengan kasih. Mengakui kebenaran berarti bahwa satu-satunya unsur penting bagi kasih yang langgeng adalah praktik penghakiman dengan kasih… Apabila kita membayangkan motif yang paling jelek di balik perbuatan orang yang menyakiti diri kita, berarti kita melakukan analisis kemungkinan terburuk. Kita bereaksi berlebihan, dengan berasumsi bahwa mereka memang berniat menyakiti kita separah itu. Namun kerap kali tidak demikian adanya… Kebalikannya adalah analisis kemungkinan terbaik. Di sini kita mengasumsikan motif terbaik yang mungkin ada di balik suatu perbuatan yang menyakitkan. Patut disayangkan bahwa kita biasanya menerapkan pemikiran kemungkinan terbaik ini hanya dalam pembelaan diri untuk kesalahan-kesalahan kita sendiri.

Kasih Allah dalam Tindakan Aktif

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 39-40.

Dalam persepsi alkitabiah, kasih lebih berfungsi sebagai kata kerja ketimbang sebagai kata benda. Kasih lebih terkait dengan berbuat daripada dengan perasaan; kasih didefinisikan oleh tindakan. Kasih mungkin atau mungkin juga tidak mencakup perasaan hangat dari kasih sayang. Bila ada kasih sayang, ini suatu bonus, namun kasih mampu berkarya tanpa perasaan itu… Kasih yang dituntut oleh Allah dari seorang suami terhadap isterinya mengambil contoh dari teladan tertinggi, yaitu kasih Kristus bagi jemaat-Nya (lihat Ef. 5:25). Kasih itu diwujudkan dalam bentuk konkret dalam berkorban untuk memberi. Karena itu, suami-suami terpanggil untuk ‘menyerahkan dirinya’ bagi isteri-isteri mereka. Dalam bahasa Inggris kuno, kata kasih diterjemahkan sebagai charity [yang juga berarti amal]. Di sini jelas tampak keterkaitan antara mengasihi dengan berkorban dalam memberi. Kasih Allah adalah kasih dalam perbuatan, kasih yang bekerja dalam tindakan-tindakan konkret. Kasih-Nya tidak statis, seperti allah dari Aristoteles yang dilukiskan sebagai ‘pemikiran ilahi yang berpikir dari dirinya sendiri.’ Kasih yang semata-mata pasif itu mematikan, bagaikan alat listrik pembunuh serangga yang memikat serangga malam dengan cahayanya lalu kemudian menyengatnya pada saat serangga itu menyentuhnya.

Kasih Allah tidak menutup diri, terisolasi layaknya dewa-dewa di Gunung Olympus yang terpencil – Ia turun dari awan-awan, membujuk dan mengejar umat-Nya, Ia datang ke lembah bayang-bayang maut, Ia mengunjungi rumah duka, Ia menambahkan suasana ceria dalam masa perayaan. Kasih yang hanya pasif adalah kasih yang mati, bahkan bukan kasih sama sekali melainkan sekadar menikmati perasaan hangat. Kasih belum lahir sebelum yang pasif menjadi aktif, perasaan berubah menjadi tindakan sementara hati menggerakkan kaki, melangkah menuju rumah sang kekasih.

Kita Mengasihi karena Yesus Mengasihi Kita

Kutipan oleh Phil Ryken yang diambil dari buku “Mengasihi seperti Yesus Mengasihi” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 9.

Namun saya tahu bahwa di dalam Injil ada pengharapan bagi orang-orang berdosa yang tidak memiliki kasih. Salah satu tempat yang baik untuk melihat pengharapan ini terdapat dalam kisah yang Markus ceritakan mengenai Yesus. Kapan pun kita berbicara tentang kasih, kita harus selalu kembali kepada Yesus. Kasih dalam Pasal Kasih [1 Korintus 13] sungguh merupakan kasih-Nya. Maka selama kita mempelajari setiap frasa dalam setiap ayat dalam 1 Korintus 13, ktia berulang kali akan kembali pada kisah Yesus dan kasih-Nya. Kita tidak akan pernah belajar bagaimana mengasihi dengan mengusahakannya dari hati kita sendiri. Kita hanya dapat belajar mengasihi dengan lebih memiliki Yesus dalam hidup kita. Alkitab berkata, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh. 4:19). Karena hal ini benar, maka satu-satunya cara bagi kita agar lebih mengasihi adalah dengan memiliki lebih banyak kasih Yesus, sebagaimana kita menemukan Dia di dalam Injil.