Come, We That Love the Lord

Mari, kita yang mengasihi Tuhan

Lirik: Watts, Isaac (lahir 17 Juli 1674, Southampton, Enziand. Meninggal 25 November 1748, Stoke Newington).

Musik: Williams, Aaron (lahir 1731, London, Inggris. Meninggal 1776, London)

Perasaan sukacita dari himne ini mencerminkan judulnya, “Sukacita Surgawi di Bumi.” Keempat bait ini, yang dipilih dari 10 bait aslinya, mempertunjukkan struktur tiga bagian dari mazmur-mazmur pujian dalam Alkitab. Dibuka dengan seruan untuk memuji, bait 1 memperkenalkan orang-orang percaya yang yakin kepada Allah di takhta-Nya. Imbauan untuk memuji melanjutkan: anak-anak Allah memiliki banyak sukacita, termasuk hadirat Allah (bait 2) dan hal manis yang sakral (berkat-berkat Allah diterima, bait 3). Himne ini berakhir dengan imbauan untuk memuji karena bagi orang-orang percaya, yang terbaik masih akan datang “di dunia yang lebih indah di tempat yang tinggi,”

Himne ini cocok untuk membuka ibadah, terutama yang menggunakan banyak musik. Kata pengantar dapat menekankan “panggilan untuk bernyanyi” di bait 1; bagian lanjutan di bait 2 menyerukan keyakinan Martin Luther. “Jika ada yang tidak mau menyanyi, mereka menunjukkan bahwa mereka tidak percaya!”

Setia Melayani di Tempat yang Sulit

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku ‘Ajarlah Kami Bertumbuh’ (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 2-3.

“dan dari Sostenes, saudara kita.” Sostenes mungkin adalah salah seorang pemimpin sinagoge di Korintus, seorang percaya dari kebangsaan Yahudi. Sama seperti rasul-rasul yang lain, Paulus tidak berniat mendirikan Gereja Perjanjian Baru yang sama sekali terputus dari ibadah orang-orang Yahudi. Sekalipun pelayanan Paulus, seperti juga Tuhan Yesus, bersifat revolusioner atau mempunyai semangat yang mendobrak, ia tetap melayani di sinagoge – memperjuangkan doktrin yang benar di gereja lama dan tidak menganggap bahwa gereja yang lama sebagai tempat yang berdosa sehingga perlu mendirikan gereja yang baru.

Demikian juga halnya Martin Luther, ia sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk mendirikan gereja yang baru, apalagi Gereja Lutheran! Ia sendiri berpikir bahwa namanya tidak patut untuk digunakan, dan akhirnya menggunakan nama gereja evangelisch karena inti perjuangannya adalah berita Injil. Meskipun pada awalnya Luther sendiri tidak ingin mendirikan gerejanya sendiri, namun akhirnya Tuhan memimpinnya untuk mendirikan gereja baru. Pemisahan dari Gereja Katolik Roma terjadi karena gereja pada saat itu tidak bersedia untuk dikoreksi.

Apakah kita mempunyai semangat yang sama? Ataukah kita segera mencari komunitas yang baru begitu ada kesulitan? Tidak pernah adakah gereja di mana kita bisa menetap dan terlibat di dalamnya dengan segala kelebihan maupun kelemahannya? Kita perlu belajar dan meneladani hamba-hamba Tuhan ini, yang bersedia untuk menggumulkan kesulitan dari jemaat yang mereka layani.