Depresi sebagai Sebuah Bentuk Penyembahan Diri

Kutipan oleh Paul C. Vitz dalam buku “Psikologi sebagai Agama” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 191-2.

Depresi mungkin disebabkan oleh alasan psikologis, tetapi kasus-kasus depresi ini biasanya merupakan bentuk tersembunyi dari penyembahan diri. Hal ini pada awalnya mungkin tampak mengejutkan, tetapi dasar pemikirannya sebenarnya sederhana saja: depresi dan pikiran negatif tentang diri sendiri sering kali merupakan akibat dari agresi terhadap diri sendiri, yaitu agresi atau kebencian terhadap diri sendiri yang terjadi ketika seseorang gagal memenuhi standarnya sendiri yang tinggi untuk mencapai keberhasilan. Orang menjadi depresi karena gagal menikah, gagal mendapat promosi jabatan, gagal menjadi partner, gagal menjadi kaya, gagal diakui sebagai artis, dan sebagainya. Terdapat banyak kesombongan di balik keterikatan kita kepada standar yang gagal kita penuhi. Artinya, rasa percaya diri yang optimistis dan depresi yang pesimistis sering kali merupakan hasil tindakan diri sendiri yang secara prerogatif menciptakan standar-standar bagi rasa harga dirinya sendiri. Diri yang narsisistis ini kemudian menghakimi seberapa baik seseorang memenuhi standar itu. Ketika kita yang gagal memenuhinya, maka kita sendirilah yang menghukum diri kita. Tetapi di dalam pengajaran Kristen, nilai diri seseorang berasal dari Allah, bukan berdasarkan standar yang kita pilih sendiri. Terlebih lagi, seseorang tidak boleh menghakimi dirinya sendiri — apalagi orang lain. Penghakiman adalah hak Allah, dan jika kita menghakimi, itu berarti kita mengambil alih tempat Allah. (Sebuah teori psikologis yang murni sekuler tentang jenis membenci diri seperti ini beserta masalahnya dikembangkan oleh Karen Horney.)

Kesombongan dan Iri Hati Adam

Kutipan oleh G. J. Baan dari buku “TULIP” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 13.

Apa sebenarnya dosa Adam itu? Secara sederhana, Adam berdosa karena memakan buah dari sebuah pohon, meskipun Allah telah melarang dia untuk memakannya. Pada waktu kita membandingkan dosa ini dengan hukuman berat yang ditimpakan karenanya, kita mungkin berpikir bahwa dosa yang satu ini dihukum dengan terlalu berat, jika melihat kejahatan seperti apa yang sudah dilakukan. Namun demikian, dosa yang satu ini mencakup seluruh rangkaian dosa lain. Marilah kita pertama-tama membahas dua dosa yang bersifat “umum.”

Pertama, dosa memakan buah terlarang merupakan pertanda kesombongan. Ini juga yang dikatakan Iblis kepada Adam. Dengan kesombongan ini, ia menggerakkan Adam untuk berbuat dosa. Adam ingin menjadi seperti Allah dan tidak mengakui adanya Allah lain di atas dirinya. Ini menandakan ciri-ciri manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa: ia tidak mau mengakui suatu Allah yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Kesombongan sudah mendarah daging dalam diri kita.

Kedua, kita dapat memandang dosa ini sebagai dosa iri hati. Manusia iri kepada Allah karena Ia tahu apa yang baik dan apa yang jahat, dan manusia pun ingin mengetahui hal itu. Ini tidak hanya berlaku dalam hal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat tetapi juga dalam hal-hal lain yang diketahui Allah dan tidak diketahui manusia. Iri hati ini berhubungan sangat dekat dengan kesombongan. Sebagai akibatnya, setiap hari kita melakukan banyak dosa lain. Terlebih lagi, kesombongan adalah akar dari banyak kejahatan. Selanjutnya, dosa Adam dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah, tanpa kecuali, yang telah diberikan oleh Allah di dalam hukum-Nya.