Bersuka dalam Firman Allah

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 25.

Mazmur 1… menggambarkan orang yang “diberkati” sebagai seorang yang “kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mzm. 1:2). Dengan perkataan lain, dia bukan hanya sekadar berkomitmen kepada firman Allah secara teoretis, tetapi dia secara positif bersuka di dalamnya – begitu bersuka sehingga dia memikirkannya, mengingatnya dalam pikirannya, merenungkannya siang dan malam. Ringkasnya, ia mengasihi Allah dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi dan kekuatan. Mazmur terpanjang dalam Kitab Suci diberikan untuk menguraikan tema yang membentuk dunia dan mentransformasi manusia ini (Mzm. 119). Maka, tidak terlalu mengejutkan lagi bahwa ketika Yosua berkuasa, dia diperintahkan, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya” (Yos. 1:8).

Mengasihi Allah, Menaati-Nya, dan Memperkenalkan-Nya

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 22-23.

Apa yang dimaksud [Ul. 6:1-9] adalah bahwa mengasihi Allah tidak dapat dipisahkan dari takut akan Allah dan menaati-Nya. Di satu sisi, menaati Allah ini berarti menaati perintah-perintah-Nya, dan perintah khusus yang ditekankan di sini adalah perintah untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Di sisi lain, jika seseorang sungguh-sungguh mengasihi Allah, kasihnya itu akan menjadi kekuatan pendorong untuk menaati-Nya sepenuhnya – dan dalam konteks ini, menaati-Nya sepenuhnya akan membawa serta kewajiban dan privilese untuk merenungkan firman-Nya dan sungguh-sungguh berkomitmen untuk meneruskannya kepada generasi berikutnya. Karena bagaimana bisa seseorang sungguh-sungguh mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan, tetapi tidak ingin memperkenalkan-Nya, khususnya kepada anak-anaknya sendiri? Karena itu, pengabaian dalam hal ini bukan hanya merupakan ketidaktaatan, tetapi juga kurangnya kasih kepada Allah.

Kasih Allah yang Bersyarat dan Tanpa Syarat

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman11-2.

“Kasih Allah adalah tanpa syarat.” Apakah ini benar? Terus terang, itu benar dalam beberapa cara yang Alkitab gunakan dalam berbicara mengenai kasih Allah. Contohnya, kasih Allah yang providensial adalah tanpa syarat, karena kasih ini dicurahkan baik kepada orang benar maupun tidak benar. Kasih Allah yang memilih adalah tanpa syarat, karena secara mutlak tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah (Rm. 8:31-39). Tetapi kasih Allah yang dikatakan dalam Sepuluh Perintah dan Yohanes 15 dan Yudas 21… jelas-jelas bersyarat. Lagi, orang-orang Kristen sering berkata, “Allah mengasihi setiap orang dengan cara yang sama dan dengan taraf yang sama.” Benarkah itu? Dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai kasih Allah bagi orang yang benar dan yang tidak benar, kelihatannya pendapat ini pasti benar. Dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai kasih Allah yang memilih, kelihatannya pendapat ini pasti salah. Dan dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai kasih Allah yang bersyaratkan ketaatan, maka kasih-Nya kepada individu-individu yang berbeda juga akan berbeda sesuai dengan ketaatan mereka.

Kasih Allah yang Memilih

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 9.

Kasih Allah yang memilih, kasih-Nya yang selektif. Dia adalah Allah yang memilih Israel – bukan karena Israel lebih besar atau lebih kuat atau lebih mengesankan daripada bangsa-bangsa lain, tetapi karena Dia mengasihinya (Ul. 7:7-8; 10:15). Ini tidak boleh dikacaukan dengan perikop-perikop yang berbicara tentang kasih Allah yang providensial, karena setiap orang tanpa kecuali adalah penerima kasih itu, sementara di sini seluruh maksudnya adalah bahwa kasih Allah membuat pembedaan. Itu sebabnya Allah dapat meringkas kasih ini dengan menunjuk kepada kategori yang membedakan: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau,” firman Allah (Mal. 1:2-3) – suatu pembedaan, demikian Paulus menunjukkan, yang didasarkan pada pikiran Allah sebelum Yakub atau Esau “dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat” (Rm. 9:10-12). Sama halnya di Perjanjian Baru: “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef. 5:25). Cara-cara berbicara seperti ini harus dibedakan dari perikop-perikop yang berbicara tentang kasih Allah yang merindukan dan mengundang, terlebih lagi dari perikop-perikop yang berbicara tentang kasih-Nya yang providensial kepada semua orang tanpa pembedaan.