Alkitab Sebagai Dasar Psikologi

Banyak ilmu psikologi sudah dipaparkan oleh banyak tokoh psikolog terkenal dunia. Namun mereka memakai wawasan dunia sekuler sehingga mereka menganalisa masalah dan memberikan solusi sesuai dengan wawasan dunia tersebut. Mereka menolak memakai wawasan dunia Alkitab dan tidak benar-benar menemukan solusi yang terbaik bagi permasalahan manusia. Sebagai orang Kristen kita harus memahami apa yang Alkitab katakan sebagai dasar psikologi.

Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia. –Yoh 2:24-25-

Sejak zaman modern, mulai terjadi pemisahan antara sakral dan sekuler. Roger E. Olson menulis “What are some other acids of modernity besides rationalism, skepticism and scientism/naturalism? One could add to these secularism—belief that life can be lived successfully without God or religion—which leads to the privatization of religion in which it has no voice in the public square.” (1)

Pemisahan ini berarti Alkitab dianggap tidak berpengaruh apa-apa di luar gereja. Allah hanya menjadi Allah di dalam gereja saja. Bidang-bidang seperti sains, ilmu sosial, dan psikologi memiliki daerahnya sendiri yang Alkitab tidak berhak untuk sentuh. Kekristenan tidak bisa menggarami dunia karena hanya memiliki suara di dalam gedung gereja dan tidak bisa keluar.

Namun jika kita percaya bahwa Allah adalah berdaulat penuh atas seluruh dunia, berarti Ia berkuasa atas segala bidang. Allah berkuasa tidak hanya di dalam gereja tetapi juga di institusi pendidikan, pemerintahan, perdagangan, termasuk psikologi. Allah yang menciptakan manusia adalah Allah yang paling mengerti manusia. Ia juga berdaulat atas hidup manusia. Anthony A. Hoekema menulis “Menurut Paulus, kita berhutang kepada Allah atas setiap napas kita; kita bereksistensi hanya di dalam Dia; di dalam setiap gerakan yang kita lakukan, kita bergantung kepada-Nya. Kita tidak akan mampu mengangkat satu jari pun di luar kehendak Allah.” (2)

Jika Allah yang paling mengerti siapa manusia, maka sudah sepantasnya psikologi didasarkan pada Firman Tuhan. Ketika para psikolog sekuler mencoba mendefinisikan masalah manusia di luar Alkitab dan gagal menemukan solusi yang terbaik, Alkitab dengan jelas memaparkan bahwa masalah paling utama manusia adalah dosa. Masalah dosa hanya dapat diselesaikan oleh Tuhan sendiri. Kebenaran ini nyata terpancar dalam kesaksian-kesaksian hamba-hamba-Nya yang menemukan semua jawaban di dalam Tuhan. Poythress dalam bukunya Redeeming Sociology menulis “Sin laces language with deceit and laces society with oppression and suffering. If God is not the remedy, what is? People have tried all kinds of alternatives. One possible alternative says that rather than sin being the problem, some structure in language or society or both imprisons us and keeps us from authentic living. And there is a grain of truth in what they say, since language and society, and not merely individuals, show effects from sin. These effects of sin bring untold suffering and damage, and press the lives of human beings more deeply into misery and sin.” (3)

Catatan Akhir:

(1) Roger E. Olson, The Journey of Modern Theology, (Downers Grove, Illinois: IVP, 2013), 26.
(2) Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, (Surabaya: Momentum, 2012), 8.
(3) Vern S. Poythress, Redeeming Sociology: A God-Centered Approach, (Wheaton, Illinois: Crossway, 2011), 12.

Penulis: Tommy Suryadi
Disadur dari website www.apolologetikakristen.com

http://www.apologetikakristen.com/alkitab-sebagai-dasar-psikologi/#more-385