Antonie Aris van de Loosdrecht

Antonie Aris van de Loosdrecht (Anton) bersama istrinya Alida Petronella van de Loosdrecth-Sizoo (Ida), melakukan perjalanan bulan madunya setelah satu bulan menikah. Perjalanan ini sekaligus menjadi langkah pelayanan misi menuju Tana Toraja, Sulawesi – Indonesia. Sebuah kisah yang bermula dari kuliah umum yang dibawakan seorang lulusan Sekolah Misi di Rotterdam, tahun 1913. Kepandaian pidato dan semangat orang muda ini, mengungkapkan perjalanan Misi baru ke masyarakat Toraja di bagian tengah Sulawesi. Seusainya perkuliahan tersebut, Anton dan Ida bertemu dan segera saling menyukai. Mereka menikah pada tanggal 7 Agustus 1913.

Kepiawaian Anton serta Ida dalam bercerita, tampak di dalam setiap surat yang mereka kirimkan kepada Gereformeerde Zendingsbond (GZB), lembaga misi yang mengutus sepasang suami istri baru ini. Anton dan Ida menggambarkan kota-kota yang terlebih dahulu mereka lewati sebelum mencapai Indonesia. Salah satunya adalah kota Heidelberg. Meskipun di luar jalur perjalanan mereka, namun mereka menyempatkan diri melewati kota di mana Anton pernah menempuh pendidikan Fakultas Teologi. Sederet cerita, ia kisahkan melalui surat-surat yang dapat kita baca pula di masa kini. Keindahan kota Heidelberg, hiruk pikuk dan keceriaan serta keramahan Pelabuhan Tanjung Priok, kesuburan tanah-tanah Pulau Jawa, pemandangan gedung kantor dan rumah di Makassar hingga keindahan alam di kota Palopo dan Rantepao.

Misi yang terlebih dahulu Anton dan Ida ketika tiba di tempat itu adalah mempelajari bahasa, budaya serta kebiasaan sehari-hari masyarakat Tana Toraja. Mereka mendapat bantuan dari Dr. Adriani yang telah bekerja selama 20 tahun di Poso dan juga menerbitkan buku sekolah serta bacaan Alkitab dalam bahasa daerah. Pembelajaran bahasa daerah, tata bahasa dan kosakata, membantu Anton dan Ida melayani masyarakat itu. Masyarakat Tana Toraja sangat menyukai cerita-cerita. Mereka sangat menghargai orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kepiawaian bercerita. Maka, hal ini menjadi pintu masuk bagi Anton untuk memberitakan Injil.

Sulit ketika pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Tana Toraja. Orang kulit putih dari Barat, identik dengan para Kompeni yang menguasai Indonesia pada masa itu. Namun, Anton dan Ida yang tidak segan berinteraksi dengan masyarakat, berkomunikasi secara terbatas dengan bahasa daerah, duduk bersila di lantai rumah, berbicara di tengah pasar dan masih banyak lagi, membuat masyarakat melihat mereka sebagai orang kulit putih yang berbeda dari kulit putih lainnya. Sekolah-sekolah dibuka untuk mengajarkan anak-anak membaca, menulis dan sebagai pintu masuk Injil. Tentu hal ini sulit dimulai karena berbeda dengan adat setempat. Sejak dahulu, tidak pernah ada pendidikan formal melalui sekolah. Lagipula, sekolah ini dibangun oleh orang kulit putih, menjadi sangat mencurigakan bagi masyarakat. Namun, dengan pendekatan melalui kepala daerah maupun kepala suku, perlahan-lahan anak-anak diantarkan ke sekolah pada hari berikutnya oleh orangtua mereka sendiri.

Tantangan terbesar pelayanan misi bagi Anton adalah bukan hanya kepercayaan animisme yang melekat pada masyarakat Toraja. Bukan juga kebiasaan memburu manusia yang masih mereka lakukan. Namun, tantanga tersebut adalah penyebaran Islam yang juga sangat giat oleh suku Bugis. Berjumlah 1.600.000 orang, mereka mendiami semananjung selatan Sulawesi. Secara resmi suku Bugis adalah penganut Islam secara tradisi sejak raja Raja Tallo. Berdasar legenda, ia mengalami pertemuan misterius dengan nabi Muhammad. Maka, Kristen dan Islam, sama-sama mencari pintu masuk kepada masyarakat Toraja. Orang suku Bugis tidak memaksa suku Toraja menganut Islam pada tahun awal, karena dianggap dengan kesetiaan animismenya, membuat mereka mudah dieksploitasi. Namun, dengan banyaknya perkembangan Kristen, semakin banyak juga guru mengaji hingga ustad-ustad yang dikirimkan untuk mengubah penganut animisme ini menjadi penganut “agama yang benar”.

Pendidikan dan ajaran kekristenan hadir melalui sekolah yang dibangun di berbagai daerah, seperti: Naggala, Balusu, Sa’dan, Kalambe, Tondok-litak Pangala, Baruppu, Pali Bituang, Buntao. Keseluruhan murid berjumlah 509 murid. Anton juga sangat rajin berinteraksi dengan kepala suku yang berpengaruh di antara masyarakat. Ia pun melatih orang-orang lokal melalui pemberitaan injil, keterampilan mengajar sehingga pada akhirnya menjadi guru pula di sekolah-sekolah yang ia dirikan.

Kebaikan, keramahan, begitu disenangi dan disegani masyarakat Toraja, tidak membuat perjalananan hidup Anton dalam melayani demikian bahagia. Sekelompok penjudi di daerah Bori, bermaksud balas dendam dengan membunuh Mr. Brouwer. Namun, pada akhirnya bernafsu membunuh siapapun orang kulit putih yang lewat daerah itu. Maka, saat Anton berada di teras rumah guru bersama guru-guru dan pembantu-pembantunya, mendadak seseorang yang tidak dikenal muncul diteras dan langsung menikam jantung Anton dengan tombak. Anton kehilangan banyak darah dan ia tahu waktunya tidak lama lagi. Ia meminta waktu untuk berdoa dan akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat tenang.

Anton meninggal ketika misinya di Tana Toraja baru saja berjalan selama 4 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dengan 3 orang anak. Meski demikian singkat pelayanannya, ia sangat dikenal dan dikasihi masyarakat Toraja dari berbagai daerah yang mengenalnya dari pelayanannya. Ia menjadi misionaris pertama ke Toraja dan juga darah pertama yang tertumpah di Tana Toraja untuk pekerjaan Injil. Gereja dan sekolah yang ia mulai, terus berjalan meskipun ia telah tiada. Tahun 1918, Ida bersama ketiga anaknya pindah ke Solo, Jawa Tengah. Ia dipercayakan untuk mengelola sebuah rumah sakit misi kecil.

Sebuah misteri kasih Tuhan, ketika Tuhan menggerakkan hati seseorang untuk menjadi misionaris. Menuju sebuah daerah yang sangat berbeda budaya, latar belakang bahkan kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupannya selama ini. Namun, ketika Tuhan memanggil, manusia meresponi dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan Tuhan, ia akan mendapat sukacita sejati. Sukacita sejati terlihat dalam kehidupan seseorang, yang masih dapat melihat kemahakuasaan, cinta kasih, kebesaran, keselamatan dan anugerah yang Tuhan berikan kepadanya. Meskipun ia harus dibunuh dari kalangan masyarakat yang ia layani dengan sepenuh hati. Meskipun seorang istri harus kehilangan suaminya yang begitu taat menjalani pekerjaan Tuhan. Meskipun anak-anak yang tahu perlakuan tidak adil anggota masyarakat tersebut kepada kedua orangtuanya. Pada akhirnya, hal ini yang menjadi wujud nyata, bahwa benar Tuhan lah penguasa hidup dan matiku. (Paulina P.)

 

Sumber Bacaan:

Dari Benih Terkecil, Tumbuh Menjadi Pohon; Kisah Anton dan Alida van de Loosdrecht, Misionaris Pertama ke Toraja.

Editor: Anthonia A. van de Loosdrecht – Muller, Jan E. Muller dan Ani Kartikasari.

Diterbitkan oleh: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja 2005

 

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)