Berdoa Tiada Henti

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 36-37.

Mungkinkah seorang Kristen berdoa tiada henti? Kalau benar, apakah itu berarti kita tidak tidur atau tidak makan? Bukan demikian. Justru doa itu bukan berarti kita tutup mata, lipat tangan, lalu berlutut. Itu hanyalah salah satu cara atau postur atau sikap berdoa. Yang disebut doa sebenarnya adalah sinkronisasi kehendak kita dengan kehendak Tuhan. Sinkronisasi kehendak kita dengan kehendak Tuhan berarti apa yang kita kehendaki harus disesuaikan dengan apa yang menjadi kehendak Allah. Pada saat kita menghendaki sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah yang kekal, itulah saat kita berdoa. Yang disebut sebagai doa yang terus-menerus (unceasing prayer) adalah sikap di mana jiwa kita berusaha untuk terus sinkron dengan kehendak Allah yang kekal. Apa yang Allah tetapkan di dalam kekekalan, apa yang Tuhan kehendaki di dalam sifat ilahi-Nya, itu juga yang menjadi keinginan dan tekad kerinduan kita. Itulah sinkronisasi kehendak kita dengan kehendak Allah. Itulah doa yang terus-menerus. Di dalam doa kita menaklukkan diri ke dalam kedaulatan Allah. Di dalam doa kita mensinkronisasikan rencana kita dengan rencana Allah. Di dalam doa kita membicarakan apa yang kita inginkan di hadapan Tuhan yang mahakuasa. Doa adalah pengakuan akan kerendahan kita dan kedaulatan Allah. Doa merupakan pengakuan bahwa kita membutuhkan Dia sebagai Pemberi Anugerah. Doa juga mengaku bahwa kita tidak mungkin menjadi sempurna tanpa pertolongan dari atas. Semua ini merupakan prinsip-prinsip theologi doa yang harus kita pahami. Doa yang tidak henti-hentinya, dikatakan oleh Billy Graham sebagai, “the prayer in the subconscious” (doa di dalam bawah sadar kita). Itu berarti secara sadar kita sedang mengerjakan segala sesuatu, tetapi di bawah sadar, di dalam hati kita yang terdalam, kita terus-menerus minta pertolongan Tuhan.

Pertobatan yang Sejati dan Kesedihan yang Kudus (2)

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 16.

Kita bisa sangat sedih karena uang kita hilang, atau kita sedih karena kita ditipu atau dirugikan. Tetapi anehnya, hanya sedikit orang yang sedih ketika uang orang lain hilang, atau kita tidak sedih kalau kita merugikan orang lain. Jadi kita harus membedakan kesedihan karena kerugian, dan kesedihan karena dosa. Jadi, pertobatan yang sejati dari Tuhan adalah kesedihan bukan karena kita takut dihukum, tetapi karena kita tahu bahwa kita telah berbuat salah melanggar hukum Tuhan Allah, dan telah mempermalukan nama Tuhan. Pada saat itu, Roh Kudus menyadarkan kita bahwa kita tidak boleh mempermalukan nama Tuhan dan Roh Kudus menegur kita, sehingga kita bertobat. Inilah kesedihan yang kudus. Kesedihan yang kudus membawa manusia kepada pertobatan.

Itu sebabnya, Theologi Reformed begitu mendalam dalam mengungkap sesuatu, karena mereka telah melihat sampai ke inti Firman Tuhan sedalam-dalamnya. Tanpa kelahiran kembali, tanpa emosi yang dikuduskan oleh Tuhan, tidak ada orang yang mengerti apa itu pertobatan. Jangan kamu menerima Theologi Reformed hanya ikut-ikutan, apalagi ikut-ikut saya, tanpa mengerti apa itu Theologi Reformed yang sesungguhnya. Kita perlu belajar dan mengerti dengan mendalam, sehingga iman dan pengertian kita akan Firman Tuhan dipertumbuhkan.

Pertobatan yang Sejati dan Kesedihan yang Kudus

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 15.

Pertobatan yang sejati adalah pekerjaan Roh Kudus di dalam hati manusia yang membuat kita sadar bahwa kita sudah melukai hati Tuhan. Pertobatan adalah karena Tuhan membuat kita sadar bahwa kita telah menyakiti dan menyedihkan hati Tuhan. Pertobatan sejati adalah akibat pekerjaan Roh Kudus, bukan suatu penyesalan karena harus menerima hukuman.

Jika kesalahan yang mendatangkan hukuman itu mendatangkan ketakutan, itu bukanlah pertobatan. Itu merupakan suatu normalisasi fungsi hati nurani. Pada saat kedua anak Harun dihanguskan oleh api Tuhan, hari itu adalah hari di mana kedua anak itu baru saja dilantik sebagai imam untuk melayani bait Allah. Pada hari itu, mereka begitu ceroboh, menggunakan api biasa untuk mempersembahkan korban. Peristiwa itu telah membuat Tuhan Allah marah dan menghanguskan kedua anak laki-laki itu. Bayangkan jika kedua anak lelaki kita pada suatu hari ditahbiskan menjadi pendeta, dan pada hari pelantikan itu, Tuhan menurunkan api dari sorga untuk menghanguskan kedua anak tersebut, tentu kita bisa membayangkan perasaan hati kita saat itu. Itulah yang dirasakan oleh Harun. Itu suatu musibah dan aib yang besar, suatu perasaan malu yang luar biasa. Tetapi melalui Musa Tuhan berkata kepada Harun: “Janganlah bersedih akan kematian mereka, tetapi bersedihlah karena dosa mereka” (Im. 10:6 dst.). Inilah pertama kalinya Alkitab dengan tajam membedakan antara kesedihan yang kudus dan kesedihan yang tidak kudus.

Kasih yang Kudus dari Allah

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 11-12.

Tuhan kita adalah Tuhan yang memiliki emosi. Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh dengan kasih. Apakah artinya “penuh dengan kasih”? Jikalau kamu mencintai seseorang, kamu akan selalu mengingat dia, selalu ingin dekat dengan dia, selalu ingin berbicara dengan dia. Itulah cinta. Cinta yang kudus adalah cinta dari Tuhan. Cinta yang najis adalah cinta dari Setan. Sama-sama cinta, tapi berbeda. Apa bedanya cinta dari seorang yang betul-betul mencintai kekasihnya dengan cinta seorang pelacur? Cinta pelacur adalah cinta yang najis, karena dia tidak murni di dalam cinta kasih yang kudus. Yang diinginkannya adalah imbalan, uang, dan berbagai hal lainnya, dan yang dipermainkan adalah seks dan cinta berahi. Dia bukan dikuasai oleh cinta yang kudus. Cinta yang kudus membangun pribadi, cinta yang najis merusak kerohanian. Cinta yang kudus membangkitkan gairah hidup, sementara cinta yang najis menghancurkan hari depan. Jika para pemuda-pemudi tidak bisa membedakan hal ini, berbahayalah mereka. Jika keluarga-keluarga tidak bisa membedakan hal ini, berbahayalah mereka. Cinta yang kudus adalah cinta yang membangun, mempersatukan, mengutuhkan, menyempurnakan, membangkitkan iman, membangkitkan gairah, dan membangkitkan kekuatan pribadi yang masih terpendam. Dengan cinta yang kudus, kata-kata seseorang bisa membangun orang, mendorong orang untuk maju, menjadikan orang yang malas menjadi rajin, dan membangkitkan orang yang kecewa menjadi penuh pengharapan. Itulah sebabnya kita sangat memerlukan cinta yang kudus. Kita sangat perlu emosi yang dikuduskan.

Komunikasi Salib

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 9-10.

Apa yang dimaksud dengan “komunikasi yang bersifat salib”? Jika kita berada di dalam terang, maka “kami” dan “kami” bersekutu. Artinya, sesama anak-anak Tuhan, sesama manusia ini akan bisa bersekutu di dalam terang. Ini merupakan komunikasi horizontal. Jika kita berada di dalam terang, maka Allah, yang adalah terang, akan ber-sekutu dengan umat-Nya yang juga berada di dalam terang. Ini merupakan komunikasi vertikal. Gabungan kedua komunikasi horizontal dan vertikal ini membentuk format salib. Inilah komunikasi yang bersifat salib. Mengapa antara orang Kristen dan orang Kristen lain tidak bisa berdamai? Itu karena adanya dendam yang tidak disisihkan. Masih ada kegelapan yang terpelihara dan tidak dibersihkan. Dosa kita tidak akan diampuni jika kita masih menyembunyikan dalam kegelapan. Jika kita hidup di dalam terang, kita bersekutu satu terhadap yang lain. Di manakah terjadi batas dari gabungan cahaya lampu yang datang dari sebelah kiri saya dan cahaya lampu dari sebelah kanan saya? Jawabnya: Di mana-mana. Tidak ada titik khusus yang menggabungkan keduanya, dan tidak ada titik yang tidak menggabungkan pertemuan keduanya.  Inilah persekutuan. Tanpa batas dan tanpa garis tepi. Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari segala dosa. Ini terjadi terus-menerus dan secara otomatis membersihkan kita. Maka pengudusan kita harus meliputi: pengudusan pikiran, pengudusan emosi, dan pengudusan kemauan kita.