Manusia Berdosa yang Bebas Namun Tidak Mampu Berbuat Baik

Kutipan oleh G. I. Williamson yang diambil dari buku “Katekismus Singkat Westminster 1” (Surabaya: Momentum, 2006) halaman 99-100.

Ada sebagian orang yang tidak menyukai doktrin yang mengajarkan ketidakberdayaan mutlak manusia dari dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik ini. Mereka berkata bahwa jika ajaran ini benar, maka itu berarti manusia tidak memiliki suatu kebebasan yang riil. Kesalahan yang dibuat orang-orang sedemikian adalah bahwa mereka ini tidak membuat pembedaan yang seharusnya antara kebebasan dan kemampuan. Kedua hal ini tidaklah sama, meski selama ini orang menganggapnya demikian. Istilah kebebasan berarti tidak adanya keharusan (atau paksaan) eksternal (atau dari luar). Jika seseorang diizinkan untuk melakukan apa pun yang dikehendaiknya, kita dapat menyebutnya bebas. Namun seorang manusia tidak selalu mampu melakukan sesuatu yang bebas dilakukannya. Manusia memiliki kebebasan untuk terbang, tetapi kenyataannya mereka tidak dapat terbang samapi mereka menemukan pesawat terbang. Allah bebas melakukan apa saja yang diinginkan-Nya, tetapi Ia tidak dapat berdusta. Allah tidak dapat berdusta karena Dia dikendalikan oleh natur-Nya sendiri. Allah itu kudus, dan oleh karena itu, Dia tidak dapat berdusta. Namun itu juga alasan mengapa manusia tidak mampu melakukan sesuatu yang baik (jika belum dilahirbarukan oleh Roh Kudus). Manusia bebas melakukan apa yang baik – tidak ada seorang pun yang memaksanya untuk melakukan yang jahat – namun ternyata ia tidak mampu melakukan yang baik. Natur batinnya yang jahat mencondongkan dirinya untuk melakukan kejahatan. “Dapatkah seorang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengganti belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yer. 13:23).

Mengapa Kejahatan Manusia Tidak Sampai Maksimal?

Kutipan oleh G.I. Williamson yang diambil dari buku “Katekismus Singkat Westminster 1” (Surabaya: Momentum, 2006) halaman 98.

Kemurahan Allah menjadi satu-satunya alasan mengapa kejahatan manusia belum mencapai tingkatan yang maksimal (menjadi seperti Iblis, serta orang-orang berdosa di dalam neraka). Dapat dibayangkan betapa mengerikannya dunia ini bila semua manusia menunjukkan kefasikan yang maksimal: semua manusia akan dapat membunuh, mencuri, dan melakukan berbagai kefasikan setiap waktu! Dan dunia ini akan dipenuhi oleh segala bentuk tindak kekerasan. Bila demikian halnya, kita meragukan apakah hidup bisa terus berlangsung. Dan perhatikanlah: Keadaan seperti inilah yang akan terjadi bila Allah tidak memperlambat laju kerusakan yang diakibatkan dosa. Bagaimana Allah melakukannya? Tentu saja, dengan berbagai cara. (1) Pertama, Allah tetap memelihara kerja hati nurani dalam manusia berdosa. Hati nurani ini memang tidak dengan serta-merta membuat manusia yang fasik menjadi manusia benar. Namun hati nurani itu menolong mengekang perbuatan dosa sampai pada taraf tertenty (Rm. 2:15). (2) Hal lain yang telah ditempatkan Allah di dunia untuk mencegah manusia berdosa berbuat jahat adalah pemerintahan sipil. Para penguasa sipil telah ditempatkan Allah di dunia sebagai suatu ancaman bagi manusia yang hendak berbuat jahat (Rm. 13:1-5). (3) Hal ketiga yang dapat menahan manusia berdosa dari perbuatan jahat adalah ketakutan mereka akan maut (Ibr. 2:15). (4) selain itu, pengaruh dari keluarga, pendidikan, serta masyarakat dapat pula menjadi penghambat bagi perkembangan kejahatan di dalam hati serta kehidupan manusia. Adanya hal-hal seperti inilah yang membuat kita dapat menemukan ‘kebaikan’ tertentu dalam kehidupan manusia yang fasik. Dengan kata lain, dalam pandangan manusia, manusia berdosa sering tampak bertindak pantas. Namun, kita harus senantiasa mengingat bahwa ini bukan disebabkan oleh adanya suatu kebaikan sejati di dalam diri mereka.