Etika Karakter sebagai Alternatif yang Lebih Baik daripada Etika Kebajikan

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 51.

Untuk melawan kekuatan yang mengikis dari individualisme modern yang atomik, beberapa pakar etika bersikeras bahwa kita perlu berfokus bukan hanya pada keputusan yang benar atau salah, tetapi juga pada apa yang membentuk karakter dari orang-orang yang membuat keputusan dan melakukan perbuatan. Pertama, kita perlu menegaskan bahwa praktik-praktik tertentu membentuk karakter. Misalnya, jika sebuah keluarga, gereja atau komunitas secara eksplisit mempraktikkan kemurahan dalam membantu orang-orang yang dalam kebutuhan, maka para anggotanya sangat mungkin akan belajar berkemurahan dan berbelas kasihan. Kedua, kita perlu menegaskan kebajikan – tanda dari karakter yang baik – misalnya, kemurahan dan belas kasihan. Ketiga, kita harus menekankan bahwa karakter dibentuk bukan oleh diri sendiri, tetapi oleh pengaruh komunitas yang membentuk, mendorong dan mengoreksi. Jadi kita harus berusaha mengembangkan tipe-tipe komunitas yang membentuk karakter berbelas kasihan. Terakhir, komunitas dan karakter bergantung pada apakah kita tahu bahwa kita adalah partisipan dalam sebuah sejarah yang lebih luas, sebuah drama yang lebih besar. Karena keempat penegasan ini sangat menentukan bagi pengembangan karakter, kami lebih suka menyebut gerakan dalam etika ini bukan hanya sekedar etika kebajikan, tetapi memakai sebuah istilah yang lebih komprehensif, yaitu etika karakter.

Merenungkan Awal dan Akhir Hidup Manusia

Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.

1 Timotius 6:7

 

Ayat ini sejalan dengan perkataan Ayub “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Kedua ayat ini menyinggung tentang awal dan akhir kehidupan manusia. Dalam 1 Timotius 6:6-10 ayat ini disebutkan dalam konteks yang bertemakan ‘kecukupan’. Dalam Kitab Ayub pasal pertama ayat ini merupakan pengakuan Ayub akan kedaulatan Allah yang tidak wajib memberi dan berhak mengambil apapun juga dari hidupnya. Meskipun ditempatkan dalam dua konteks yang berbeda, kedua ayat ini bersama-sama mengundang para pembaca untuk merenungkan awal dan akhir kehidupan manusia.

 

Continue reading “Merenungkan Awal dan Akhir Hidup Manusia”