Keyakinan yang Salah akan Diri Sendiri

Dan pada saat itu berkokoklah ayam untuk kedua kalinya. Maka teringatlah Petrus, bahwa Yesus telah berkata kepadanya: “Sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Lalu menangislah ia tersedu-sedu. (Markus 14:72)

Petrus adalah seorang murid Tuhan yang seringkali dikenal karena penyangkalannya terhadap Yesus. Sebelum peristiwa penyangkalan itu Yesus sudah menyatakannya kepada para murid (lihat Markus 14:26-31). Yesus berkata: “kamu semua akan tergoncang imanmu.” Namun Petrus dengan tanpa berpikir panjang memberikan jawaban kepada Yesus: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak.” Petrus menyatakan bahwa iman yang dimilikinya lebih kuat daripada murid yang lain. Petrus seolah mau menyatakan: “Tuhan, engkau berkata bahwa iman kami akan tergoncang, namun imanku tidak mungkin tergoncang. Perkataan-Mu hanya berlaku untuk para murid yang lain. Aku tidak sama dengan para murid yang lain. I’m special.”

Yesus kemudian menyatakan suatu nubuat: Petrus akan menyangkal Yesus pada malam itu juga sebanyak tiga kali sebelum ayam berkokok dua kali. Petrus, sekali lagi tanpa berpikir panjang, langsung membantah perkataan Yesus. Ia mau mengatakan bahwa perkataan Yesus tentang dirinya tidaklah benar. Petrus lebih memercayai citra diri yang dikarangnya sendiri daripada perkataan Tuhan tentang dirinya. Petrus dituliskan “dengan lebih bersungguh-sungguh” berkata bahwa kematian pun tidak akan menggoyahkan imannya. Semangat yang bersifat sementara ini tertular kepada para murid yang lain.

Apakah Petrus berbohong pada saat itu? Penulis percaya bahwa pada saat itu Petrus sama sekali tidak ada niat untuk berbohong. Alkitab tidak menyatakan bahwa Petrus sedang berbohong di dalam hatinya ketika ia berkata demikian. Malah Alkitab berkata bahwa Petrus “dengan lebih bersungguh-sungguh” menegaskan kesetiaannya kepada Tuhan melalui perkataan. Namun mengapa kenyataannya berbeda dengan apa yang Petrus katakan?

Hal yang sama sering ditemukan pada banyak orang, termasuk orang Kristen. Banyak orang pernah berkata “sekarang tahun yang baru sudah dimulai. Resolusi tahun ini pasti aku jalankan. Aku sudah lelah dengan penundaan dan kegagalan. Tahun ini akan kujalani dengan semangat pantang menyerah.” Namun kenyataannya seminggu kemudian semangat itu berkurang dan lama kelamaan menghilang. Apakah mereka sedang berbohong saat itu? Mungkin para pembaca pernah mengalami hal seperti ini. Penulis percaya bahwa mereka tidak berniat demikian meskipun kenyataan telah menampilkan diri mereka sebagai penipu.

Keyakinan seseorang dan kenyataan bisa berbeda. Seseorang bisa berkata “aku pasti bisa” namun setelah mengalaminya ia baru berkata “ternyata aku tidak bisa. Ini tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan.” Mungkin kita pernah mengalami hal yang demikian. Hal inilah yang dialami oleh Petrus. Ia telah membuat citra diri yang salah. Ia yakin bahwa itu adalah dirinya, namun sebenarnya tidak demikian. Petrus yakin bahwa dirinya adalah seorang murid yang setia yang tidak mungkin digoyahkan imannya. Ia yakin bahwa kematian tidak akan membuatnya murtad. Ia yakin bahwa dirinya lebih baik daripada para murid yang lain. Ia yakin pada dirinya sendiri sehingga ia menolak firman Tuhan yang jelas dinyatakan baginya.

Petrus benar-benar tertusuk setelah kenyataan membuktikan bahwa keyakinan yang dimilikinya tentang dirinya sendiri selama ini sebenarnya salah. Semangatnya dan rasa percaya dirinya hancur lebur dalam sekejap. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu. Mungkin kita pernah mengalami hal yang menyakitkan seperti ini. Kenyataan itu mungkin pernah menusuk begitu dalam dan merobek hati kita. Namun ini semua membuktikan bahwa manusia tidak bisa bersandar pada dirinya sendiri tetapi hanya kepada Tuhan. Manusia pada akhirnya harus merendahkan dirinya di hadapan Allah. Tidak ada manusia yang tahu akan masa depannya, maka Alkitab berkata bahwa tidak ada yang boleh membanggakan dirinya. Tidak ada manusia yang tahu akan kekuatan imannya sebelum Tuhan mengujinya dan menyatakannya kepadanya, maka tidak ada seorang pun yang boleh mengukur dirinya sendiri sebelum ia melewati ujian kenyataan hidup di dalam pengalaman hidupnya. Paulus berkata “sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1 Korintus 10:12).