Memuliakan Allah melalui Teologi

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 8-9.

Bertheologi juga berarti memuliakan Allah. Jika kita tidak mengenal Allah, bagaimana kita dapat memuliakan Dia? Sebaliknya, semakin kita mengenal Allah, kita akan semakin memuliakan Dia, dan menyebabkan semakin banyak orang memuliakan Dia karena kemuliaan-Nya yang mereka lihat melalui kita. Inilah theologi yang hidup dan yang baik. Jadi, bertheologi bukan saja menumbuhkan pengenalan dan kasih kita kepada Allah, tetapi juga bakti dan sembah sujud kita kepada-Nya. Alkitab mencatat, ketika Allah menyatakan diri-Nya kepada nabi-nabi, rasul-rasul, dan orang-orang saleh-Nya, mereka melihat kemuliaan Allah, dan itu menyebebakan mereka tersungkur dan bersembah sujud di hadapan-Nya (Ayub 42:1-6; Daniel 2:19-20; Yesaya 6; Matius 14:22-33; Wahyu 1:17; dan lain-lain). Bakti atau sembah sujud kepada Allah timbul dari pengertian yang sejati akan keagungan Allah. Sebab tidak mungkin orang bisa bersembah sujud dan berbakti kepada Allah jika ia tidak mengetahui keagungan Allah sedemikian tinggi, melampaui segala ciptaan. Maka celakalah kita jika kita hanya mengetahui theologi di dalam otak, sehingga kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan agama, mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah, tetapi hati kita belum bersembah sujud dan tidak berbakti di hadapan Allah. Alangkah berbahayanya jika seseorang mempunyai banyak pengetahuan tentang Allah tetapi tidak berbakti kepada-Nya. Pengenalan dan penyembahan terhadap Allah tidak dapat dipisahkan. Pengenalan kita akan Allah menyebabkan kita mengetahui atau menyadari diri kita yang kecil dan hina, sehingga kita merendahkan diri di hadapan Allah seumur hidup. Istilah berbakti atau menyembah (Inggris: to worship) di dalam bahasa Ibrani mempunyai pengertian membungkukkan diri (to bend down), yaitu membungkukkan diri untuk berbakti dan bersembah sujud kepada Allah. Ini berarti pada saat kita berada di hadapan Allah, kita perlu berbakti, bersembah sujud kepada-Nya.

Arti dari Teologi

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 7-8.

Theologi berarti mengenal Allah, memahami, mengalami, serta hidup di dalam Dia. Theologi bukanlah sekadar suatu teori yang pernah terlintas di dalam rasio manusia, bukan sekadar pelajaran yang dipelajari melalui tulisan di atas kertas. Theologi adalah pengenalan akan Allah yang di dalamnya kita menghayati atau mengalami hidup yang sejati. Di dalam bertheologi, kita menjelajahi perkataan-perkataan, janji-janji, realitas, dan kesungguhan Allah sendiri. Di dalam bertheologi, kita juga menghayati cinta kasih-Nya kepada kita dan cinta kasih kita kepada-Nya. Dalam hal ini, Blaise Pascal, seorang filsuf, ahli matematika dan ahli fisika dari Prancis, berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat mengenal Allah lebih daripada cintanya kepada Allah.” Theologi tidak seharusnya hanya dimonopoli oleh seminari-seminari, sekolah-sekolah theologi atau sekolah-sekolah Alkitab, sekolah-sekolah yang melatih calon-calon pendeta, dan sejenisnya. Theologi hendaknya dimiliki oleh setiap orang Kristen, karena bertheologi merupakan hak setiap anak Tuhan, setiap orang yang mengenal Tuhan, agar mengetahui mengapa kita harus mengenal Tuhan dan bagaimana mengenal Dia dengan tepat. Kita tidak mempelajari theologi di dalam otak, tetapi menerjunkan diri ke dalam cinta Tuhan dan cinta kita kepada Tuhan. Sambil menikmati cinta-Nya, saat itu kita harus membalas cinta-Nya dengan cinta yang diberikan oleh Dia kepada kita. Itulah theologi.

Mengenal Allah sebagai Titik Tolak dari Segala Hikmat

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 6.

Adakah yang lebih penting daripada pengertian mengenai Allah? Adakah yang lebih berharga daripada pengenalan akan Allah? Mungkinkah seseorang menjadi manusia yang baik tanpa mengenal Allah? Dapatkah pemerintah suatu bangsa memerintah dengan baik tanpa pengertian akan Allah yang benar?

Augustinus, seorang bapa Gereja, pernah berkata, “Jikalau aku ditanya, ‘Apakah yang ingin kuketahui dalam dunia ini?’, maka aku akan menjawab, ‘Hanya dua hal yang ingin aku ketahui sedalam-dalamnya seumur hidupku, yang pertama, mengenal Allah, dan yang kedua, mengenal jiwa manusia.’ Dan jika aku ditanya lagi, ‘Adakah hal lain yang ingin kauketahui?’, maka aku akan menjawab, ‘Tidak ada, bahkan mutlak tidak ada lagi hal lain yang ingin aku ketahui.’ Aku ingin mengenal Allah, mengenal siapakah Dia?”

Pengenalan akan Allah ini begitu penting, karena: pertama, pengenalan akan Allah merupakan titik tolak bagi hikmat yang sejati. Pengenalan akan Allah menjadi dasar dari segala kepandaian di dalam dunia ini (bdk. Amsal 1:7; Mazmur 111:10). Kedua, pengenalan akan Allah muncul dari keinginan jiwa. Tetapi mengapa jiwa mempunyai keinginan seperti ini? Karena jiwa kita diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Kalau demikian, siapakah aku? Aku mau mengenal diriku sendiri, mengenal jiwaku. Maka, mengenal Allah dan mengenal jiwa terkait satu dengan yang lain. Melalui pengenalan akan Allah, jiwa kita mempunyai suatu dasar, arah, prinsip hidup, dan hikmat yang sesungguhnya. Pengenalan akan Allah dan takut akan Allah merupakan suatu pangkal atau titik tolak dari segala kepandaian dan hikmat.

Injil adalah Kekuatan Allah

Injil adalah kekuatan Allah. Ini merupakan paradoks karena kekuatan Injil justru dinyatakan dalam kelemahan: Yesus Kristus yang tersalib. Dalam persepsi orang Yahudi, kekuatan Tuhan yang sesungguhnya itu dinyatakan ketika Mesias datang dan membebaskan bangsa mereka dari penindasan bangsa Romawi. Persepsi semacam ini mirip dengan persepsi manusia zaman sekarang yang terus mengharapkan mujizat sebagai demonstrasi kekuatan Allah. Sebaliknya, Injil menyatakan kekuatan Allah dalam versi yang sama sekali berbeda. Justru dalam keadaan yang sangat lemah di atas kayu salib, Yesus Kristus menyatakan kekuatan Allah. Ketika dicaci-maki, Ia tidak membalas; ketika orang-orang mengutuki-Nya, Ia justru memberkati dan mengampuni mereka. Inilah kekuatan Allah yang tidak dapat dimengerti oleh dunia.

Kekuatan Allah melenyapkan kelemahan manusia. Sepanjang hidup Yesus Kristus, Ia melakukan pelayanan yang mengangkat kelemahan manusia. Inilah konteks yang benar dari pelayanan yang disertai dengan mujizat. Kekuatan Allah dinyatakan saat Yesus digerakkan oleh belas kasihan terhadap kelemahan manusia. Mujizat dalam konteks kekuatan Allah adalah kekuatan Allah dalam mengekspresikan kasih-Nya yang besar atas manusia yang lemah.

Kekuatan Allah sekaligus menelanjangi kekuatan manusia. Di atas kayu salib, Tuhan Yesus menyatakan kekuatan di dalam kelemahan-Nya. Di situ Ia sepertinya ditelanjangi, padahal sebenarnya yang ditelanjangi ialah kita, orang berdosa. Ini adalah suatu paradoks. Tuhan Yesus dipermalukan, tetapi sebenarnya yang dipermalukan adalah diri kita yang sangat bobrok. Ketika Ia mengatakan kalimat-kalimat pengampunan, kita melihat diri kita yang sering kali tidak sanggup mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Kita melihat diri kita yang tidak sanggup memberkati orang lain yang mencaci maki kita. Di atas kayu salib satu per satu kebobrokan dan kerapuhan kita dibongkar.

Menghormati Pelayan-Pelayan Allah

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku “Ajarlah Kami Bertumbuh” (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 11.

Menghormati hamba Tuhan tertentu dan mengakui bahwa Tuhan memakainya untuk mendidik kita tentu tidak ada salahnya. Bahkan Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa Bapa menghormati mereka yang melayani Dia [Yesus Kristus] (Yoh. 12:26). Jika Allah menghormati orang yang sedemikian, apakah kita tidak boleh menghormati mereka? Bukankah kita harus belajar menghormati orang yang dihormati oleh Allah? Sebenarnya, baik Paulus, Apolos, maupun Petrus harus dihormati oleh jemaat Korintus. Tetapi sayangnya mereka hanya menghormati hamba Tuhan tertentu. Lebih dari itu, sebagian orang dengan congkaknya tidak mau menghormati siapa pun karena mereka berpikir hanya perlu menghormati Kristus. Ini merupakan pandangan yang sangat keliru dan sempit. Dari bagian ini kita melihat bahwa mereka yang mengaku sebagai golongan Kristus sedang menghina hamba-hamba Tuhan, baik Paulus, Apolos, maupun Petrus. Ada dua hal yang ekstrem di sini. Pertama:terlalu mengagung-agungkan kebesaran manusia sehingga tidak melihat kebesaran Tuhan. Kedua: tidak mau menghormati siapa pun kecuali Kristus, sementara Allah sendiri menghormati para pelayan-Nya.