Bagaimana Seseorang Dapat Dikuduskan?

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 5.

Konsep “kekudusan” di dalam Alkitab sangat berbeda dari pemikiran dunia tentang kekudusan. Pertama kali Alkitab dalam Perjanjian Lama membicarakan kekudusan adalah ketika Tuhan bertemu dengan Musa dan berkata: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus” (Kel. 3:5). Kata kudus inilah yang dimengerti sebagai suci, dan dalam bahasa Ibrani adalah qadosh.

Kekudusan dimulai dengan mengenal dan berjumpa dengan Tuhan. Kekudusan dimulai dengan mengenalnya sebagai sifat Allah. Inilah permulaan dari konsep kekudusan. Kita memerlukan kekudusan, dan kekudusan itu dimulai dari Allah. Kita dikuduskan oleh Allah. Alkitab mencatat bahwa hanya ada tiga hal yang dapat menguduskan kita, yaitu: 1) darah Yesus; 2) Firman Tuhan; dan 3) Roh Kudus. Tidak ada hal lain yang dapat menyucikan kita selain ketiga hal ini. Oleh darah Tuhan Yesus dosa kita dihapuskan; oleh Firman Tuhan kita dibersihkan dari semua konsep, semua pemikiran dan kelakuan yang salah, dan dibawa kembali kepada kebenaran; dan oleh Roh Kudus kita diberi suatu dorongan dan pengudusan dengan memberikan hidup yang baru. Selain ketiga hal ini, tidak ada sumber dan daya yang bisa menguduskan kita.

Pengudusan Emosi oleh Roh Kudus

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. vii-viii.

Salah satu pekerjaan Roh Kudus yang terpenting, selain mencerahkan kita, memperanakkan kita, dan bersaksi dalam hati kita bahwa kita anak-anak Allah, adalah memimpin dan menguduskan kita dalam seluruh perjalanan hidup kita mengikut Tuhan. Pengudusan ini mencakup: membawa rasio kita kembali dalam kesetiaan pada Firman Tuhan, membersihkan hati kita untuk senantiasa jujur dan murni di hadapan Tuhan, serta menguduskan emosi kita dalam setiap pergumulan dan pencobaan yang kita hadapi dalam hidup kita. Pengudusan emosi ini sangat krusial karena secara pasti akan mengakibatkan kesuksesan atau kegagalan hidup kita sebagai seorang Kristen.

Mengapa Kain membunuh Habel? Mengapa Abraham berbohong? Mengapa Saul berusaha membunuh Daud? Mengapa Daud berzinah? Mengapa Salomo jatuh dalam dosa karena berpoligami? Semua ini disebabkan oleh kerusakan dan kenajisan dalam emosi. Karena itulah, pengudusan emosi merupakan salah satu aspek kerohanian anak-anak Tuhan yang tidak boleh diabaikan.

Pengenalan akan Allah Membawa kepada Pengudusan

Kutipan oleh James Montgomery Boice dalam buku “Dasar-Dasar Iman Kristen” (Surabaya: Momentum, 2011), halaman 12.

Pengenalan akan Allah membawa kepada kekudusan. Mengenal Allah sebagai adanya Dia, berarti mengasihi Dia sebagai adanya Dia dan ingin menjadi seperti Dia. Ini adalah berita dari salah satu ayat paling penting dalam Alkitab tentang pengenalan akan Allah. Yeremia, nabi Israel itu, menulis, “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya; janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan, dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN” (Yer. 9:23-24). Yeremia juga menulis tentang suatu hari di mana orang-orang yang tidak mengenal Allah akan mengenal Dia. “Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan; Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN; sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka, dan tidak lagi mengingat dosa mereka” (Yer. 31:34).

Depresi sebagai Sebuah Bentuk Penyembahan Diri

Kutipan oleh Paul C. Vitz dalam buku “Psikologi sebagai Agama” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 191-2.

Depresi mungkin disebabkan oleh alasan psikologis, tetapi kasus-kasus depresi ini biasanya merupakan bentuk tersembunyi dari penyembahan diri. Hal ini pada awalnya mungkin tampak mengejutkan, tetapi dasar pemikirannya sebenarnya sederhana saja: depresi dan pikiran negatif tentang diri sendiri sering kali merupakan akibat dari agresi terhadap diri sendiri, yaitu agresi atau kebencian terhadap diri sendiri yang terjadi ketika seseorang gagal memenuhi standarnya sendiri yang tinggi untuk mencapai keberhasilan. Orang menjadi depresi karena gagal menikah, gagal mendapat promosi jabatan, gagal menjadi partner, gagal menjadi kaya, gagal diakui sebagai artis, dan sebagainya. Terdapat banyak kesombongan di balik keterikatan kita kepada standar yang gagal kita penuhi. Artinya, rasa percaya diri yang optimistis dan depresi yang pesimistis sering kali merupakan hasil tindakan diri sendiri yang secara prerogatif menciptakan standar-standar bagi rasa harga dirinya sendiri. Diri yang narsisistis ini kemudian menghakimi seberapa baik seseorang memenuhi standar itu. Ketika kita yang gagal memenuhinya, maka kita sendirilah yang menghukum diri kita. Tetapi di dalam pengajaran Kristen, nilai diri seseorang berasal dari Allah, bukan berdasarkan standar yang kita pilih sendiri. Terlebih lagi, seseorang tidak boleh menghakimi dirinya sendiri — apalagi orang lain. Penghakiman adalah hak Allah, dan jika kita menghakimi, itu berarti kita mengambil alih tempat Allah. (Sebuah teori psikologis yang murni sekuler tentang jenis membenci diri seperti ini beserta masalahnya dikembangkan oleh Karen Horney.)

Keindahan Allah dalam Hukum-Hukum Ilmiah

Kutipan oleh Vern. S. Poythress dalam buku “Menebus Sains” (Surabaya: Momentum, 2013), hal. 14.

Hukum-hukum ilmiah, khususnya hukum-hukum yang “dalam,” adalah indah. Para ilmuwan telah lama menyelidiki kemungkinan-kemungkinan hipotesis dan model atas dasar kriteria keindahan dan kesederhanaan. Misalnya, hukum gravitasi Newton dan hukum-hukum elektromagnetisme Maxwell secara matematis adalah sederhana dan indah. Dan para ilmuwan dengan jelas mengharapkan hukum-hukum yang baru, dan juga hukum-hukum yang lama, untuk menunjukkan keindahan dan kesederhanaan. Mengapa? Keindahan hukum-hukum ilmiah menunjukkan keindahan Allah sendiri. Walaupun keindahan belum menjadi sebuah topik favorit dalam eksposisi klasik mengenai doktrin Allah, Alkitab menunjukkan kepada kita sesosok Allah yang sangat indah. Dia menyatakan diri-Nya dalam keindahan di dalam rancangan tabernakel, puisi Mazmur, dan keelokan perumpamaan Kristus, dan juga keindahan moral dari kehidupan Kristus.

Keindahan Allah sendiri terpancar dalam apa yang telah Dia ciptakan. Kita lebih terbiasa untuk melihat keindahan pada objek-objek tertentu dalam ciptaan, seperti seekor kupu-kupu, atau sebuah gunung yang tinggi, atau suatu padang rumput yang ditutupi bunga-bunga. Tetapi keindahan juga ditunjukkan dalam bentuk yang sederhana dan elok dari beberapa hukum-hukum fisika yang paling dasar, seperti hukum Newton mengenai gaya, F = ma, atau formula Einstein mengenai massa dan energi, E = mc^2. Mengapa hukum-hukum yang begitu elok harus ada? Keindahan juga ditunjukkan dalam keharmonisan di antara bidang-bidang sains, dan keharmonisan antara matematika dan sains yang diandalkan para ilmuwan kapanpun mereka menggunakan sebuah formula matematis untuk menjelaskan sebuah proses fisika.