Kasih yang Langgeng

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 48-9.

Kasih yang langgeng [adalah] jenis kasih yang telah diproses dalam cawan pemurnian melalui penderitaan dan kesesakan, dibangun di atas landasan batu karang kepercayaan. Kepercayaan adalah sesuatu yang mudah goyah, rapuh. Bisa dibutuhkan bertahun-tahun untuk memperkuatnya, dan beberapa menit saja sudah cukup untuk menghancurkannya. Jadi kasih yang langgeng harus sanggup menanggung kekecewaan dan perasaan diabaikan oleh orang-orang yang kita andalkan. Bukan berarti kepercayaan membabi buta yang timbul dari keluguan. Kita tahu bahwa manusia itu berdosa, dan karena itu kita tidak memandang pada dunia dan manusia melalui kacamata merah jambu yang membuat semuanya tampak indah.

Kasih Allah dalam Tindakan Aktif

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 39-40.

Dalam persepsi alkitabiah, kasih lebih berfungsi sebagai kata kerja ketimbang sebagai kata benda. Kasih lebih terkait dengan berbuat daripada dengan perasaan; kasih didefinisikan oleh tindakan. Kasih mungkin atau mungkin juga tidak mencakup perasaan hangat dari kasih sayang. Bila ada kasih sayang, ini suatu bonus, namun kasih mampu berkarya tanpa perasaan itu… Kasih yang dituntut oleh Allah dari seorang suami terhadap isterinya mengambil contoh dari teladan tertinggi, yaitu kasih Kristus bagi jemaat-Nya (lihat Ef. 5:25). Kasih itu diwujudkan dalam bentuk konkret dalam berkorban untuk memberi. Karena itu, suami-suami terpanggil untuk ‘menyerahkan dirinya’ bagi isteri-isteri mereka. Dalam bahasa Inggris kuno, kata kasih diterjemahkan sebagai charity [yang juga berarti amal]. Di sini jelas tampak keterkaitan antara mengasihi dengan berkorban dalam memberi. Kasih Allah adalah kasih dalam perbuatan, kasih yang bekerja dalam tindakan-tindakan konkret. Kasih-Nya tidak statis, seperti allah dari Aristoteles yang dilukiskan sebagai ‘pemikiran ilahi yang berpikir dari dirinya sendiri.’ Kasih yang semata-mata pasif itu mematikan, bagaikan alat listrik pembunuh serangga yang memikat serangga malam dengan cahayanya lalu kemudian menyengatnya pada saat serangga itu menyentuhnya.

Kasih Allah tidak menutup diri, terisolasi layaknya dewa-dewa di Gunung Olympus yang terpencil – Ia turun dari awan-awan, membujuk dan mengejar umat-Nya, Ia datang ke lembah bayang-bayang maut, Ia mengunjungi rumah duka, Ia menambahkan suasana ceria dalam masa perayaan. Kasih yang hanya pasif adalah kasih yang mati, bahkan bukan kasih sama sekali melainkan sekadar menikmati perasaan hangat. Kasih belum lahir sebelum yang pasif menjadi aktif, perasaan berubah menjadi tindakan sementara hati menggerakkan kaki, melangkah menuju rumah sang kekasih.

Standar Etika Institusi Publik Memengaruhi Etika Individu

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 76-7.

Kebajikan tidak hanya berarti moralitas pribadi. Etika karakter menegaskan bahwa setiap institusi publik mengandung asumsi-asumsi tertentu tentang karakter dan kebajikan macam apa yang seharusnya dimiliki oleh para partisipannya. Jadi, etika karakter menguji berbagai institusi melalui orang-orang jenis apa yang dikembangkannya (Hauerwas, Community of Character, 123). Standar-standar keadilan yang dipraktikkan dalam sebuah masyarakat mempunyai suatu pengaruh yang sangat besar pada berbagai kebajikan moral orang-orang dalam masyarakat itu. Los Angeles Times menerbitkan satu seri artikel tentang korupsi, kejahatan, dan kemiskinan di Rusia, melukiskan bagaimana sistem ekonomi di sana mendorong orang-orang Rusia menjadikan mencuri sebagai perbuatan yang biasa dilakukan. Dalam masa Perang Dingin, orang-orang Eropa mengamati bahwa orang-orang Amerika yang mereka temui telah menyerap budaya untuk melihat citra Uni Soviet sebagai gambaran musuh yang luar biasa buruknya. Setiap tanggal 4 Juli, orang-orang Amerika merayakan hari ‘kemerdekaan’ mereka -suatu bagian penting dari etos Amerika yang dibentuk oleh narasi sejarah Amerika, yang menceritakan bagaimana Amerika didirikan dalam suatu perang revolusi. Dan orang-orang Texas memperingati Pertempuran Alamo, hampir-hampir menjadikannya sebagai sebuah cerita suci tentang lahirnya Texas. Sejarah Amerika sering diajarkan sebagian besar sebagai sebuah sejarah tentang peperangan (Juhnke dan Hunter, Missing Peace). Televisi Amerika dan video games anak-anak penuh dengan adegan kekerasan.

Etika Karakter sebagai Alternatif yang Lebih Baik daripada Etika Kebajikan

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 51.

Untuk melawan kekuatan yang mengikis dari individualisme modern yang atomik, beberapa pakar etika bersikeras bahwa kita perlu berfokus bukan hanya pada keputusan yang benar atau salah, tetapi juga pada apa yang membentuk karakter dari orang-orang yang membuat keputusan dan melakukan perbuatan. Pertama, kita perlu menegaskan bahwa praktik-praktik tertentu membentuk karakter. Misalnya, jika sebuah keluarga, gereja atau komunitas secara eksplisit mempraktikkan kemurahan dalam membantu orang-orang yang dalam kebutuhan, maka para anggotanya sangat mungkin akan belajar berkemurahan dan berbelas kasihan. Kedua, kita perlu menegaskan kebajikan – tanda dari karakter yang baik – misalnya, kemurahan dan belas kasihan. Ketiga, kita harus menekankan bahwa karakter dibentuk bukan oleh diri sendiri, tetapi oleh pengaruh komunitas yang membentuk, mendorong dan mengoreksi. Jadi kita harus berusaha mengembangkan tipe-tipe komunitas yang membentuk karakter berbelas kasihan. Terakhir, komunitas dan karakter bergantung pada apakah kita tahu bahwa kita adalah partisipan dalam sebuah sejarah yang lebih luas, sebuah drama yang lebih besar. Karena keempat penegasan ini sangat menentukan bagi pengembangan karakter, kami lebih suka menyebut gerakan dalam etika ini bukan hanya sekedar etika kebajikan, tetapi memakai sebuah istilah yang lebih komprehensif, yaitu etika karakter.

Membawa Damai Allah bagi Musuh-Musuh Kita

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 37-8.

Menjadi seorang yang membawa damai merupakan bagian dari penyerahan diri kepada Allah, karena Allah membawa damai. Kita meninggalkan usaha untuk memenuhi kebutuhan kita melalui pembinasaan musuh-musuh. Allah datang kepada kita dalam Kristus untuk berdamai dengan kita; dan kita berpartisipasi dalam anugerah Allah ketika kita pergi kepada musuh kita dan berdamai dengan mereka. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang membawa damai ‘akan disebut anak-anak Allah.’ Dengan kata lain, berbahagialah orang yang berdamai dengan musuh  mereka, sebagaimana Allah menyatakan kasih kepada musuh-musuh-Nya.