Anne Bradstreet

Anne Bradstreet (1612-1672) adalah seorang penyair ternama Inggris yang dikenal di Amerika. Memiliki suami bernama Simon Bradstreet. Hidup di tengah-tengah keluarga Puritan, tahun 1630, mereka berlayar ke Amerika bersama dengan perusahaan Massachusetts Bay dan kelompok Winthrop Puritan. Kemudian menetap di Ipswich, Massachusetts. Bersama dengan suaminya, ia memiliki dan membesarkan ke-8 anaknya. Di awal tahun 1640an, Anne dan keluarga berpindah dari Ipswich ke Andover Parish.

Dengan latar belakang pekerjaan ayahnya, Thomas Dudley, yang adalah pelayan dari Earl of Licoln, Anne menerima pendidikan yang sangat baik dalam berbagai bidang dan bahasa. Mulai dari bidang sejarah, literatur hingga bahasa Yunani, Latin, Perancis, Ibani. Keseluruhan ini hampir sama baiknya dengan bahasa Inggris, yang adalah bahasa ibunya.

Ayah dan suami Anne keduanya berperan dalam pendirian Harvard di tahun 1636. Di Oktober 1997, komunitas Harvard mendedikasikan sebuah gerbang untuk mengingat Anne sebagai seorang Amerika pertama yang mempublikasikan sebuah puisi. Disebut The Bradstreet Gate, terletak di sebelah Canaday Hall.

Berada di tengah lingkungan para pria yang menjadi pemimpin penting, keberadaannya sebagai seorang perempuan yang cerdas, membuatnya cukup kesulitan. Hal ini sangat menyakitkan baginya. Demikian juga yang terjadi dengan temannya, Anne Hutchinson. Ibu dari 14 anak yang memiliki kemampuan berbicara. Karena begitu banyak tekanan dan pandangan yang tidak terlalu baik, tidak mengherankan jika ia tidak pernah berniat mempublikasikan tulisan-tulisannya.

Anne sangat banyak menghasilkan berbagai tulisan. Puisi yang ia buat kebanyakan ditulis untuk dirinya sendiri, maupun untuk keluarga, saudara dan kolega-kolega baiknya. Puisi yang ia buat, secara diam-diam dibawa ke Inggris oleh kakak iparnya tanpa sepengetahuannya. Setelah dipublikasikan secara massal, puisi ini menjadi puisi yang sangat diterima oleh masyarakat luas dan terkenal.

Karya Anne dikenal sebagai karya yang kontemplatif dari kehidupannya sebagai seorang Puritan. Perenungan akan firman Tuhan dan pengalaman pribadinya sehari-hari dengan Tuhan di dalam setiap keadaan, membuat tulisannya menjadi tulisan yang penuh makna dan menyentuh para pembacanya.

Pada tahun 1666, rumah mereka yang berada di North Andover terbakar. Membuat keluarga mereka tidak memiliki tempat tinggal sama sekali dan tersisa hanya beberapa barang pribadi saja. mulai saat itu, kesehatannya pun semakin memburuk. Ia menderita TBC dan tidak dapat lagi bertemu dengan keluarganya yang berharga. Namun, ia sangat memiliki kekuatan dan tekad besar dalam perenungan pribadi dan pengetahuan akan Firman Tuhan.

Meninggal di tahun 1672 di North Andover, Massachusetts pada usia ke-60 tahun. Banyak orang yang masih terus mengenang hasil karyanya yang terus menerus terpublikasi. Puisinya pun menjadi satu refleksi pribadi, kekuatan maupun penghiburan bagi banyak orang yang menikmati karyanya.

Seorang perempuan yang hidup di era seperti Anne, meskipun ia mendapat pendidikan yang baik, namun tentu tidak memiliki peran yang sangat besar. Namun, dibesarkan dalam keluarga Puritan, pengenalan akan Allah dan posisi dirinya di hadapan Allah lah yang menjadi acuan hidupnya. Maka, relasi pribadi dengan Tuhan pun sanggup ia tuangkan di dalam keahlian menulisnya. Tulisan yang jujur terhadap Tuhan dan diri, membuat karyanya diterima oleh banyak orang.

Hal ini juga yang seharusnya mengingatkan kita. Meskipun dalam keterbatasan kehidupan, namun kesadaran akan kehidupan pribadi di hadapan Tuhan, relasi yang intim dan menggunakan talenta yang Tuhan berikan, menjadi satu tanggungjawab yang harus kita kerjakan. Apabila pada akhirnya Tuhan mau menggunakan hal ini menjadi berkat bagi banyak orang, maka biarkan anugerah Tuhan saja yang bekerja. Kiranya tokoh perempuan seperti Anne di kalangan Puritan masa itu pun menjadi contoh hanya bagi kita di dalam keterbatasan kehidupan kita saat ini.

 

Sumber:

Anne Bradstreet – Poems. Poemhunter.com – The World’s Poetry Archive, 2012.

Anne Bradstreet, by Ann Woodlief. https://archive.vcu.edu/english/engweb/webtexts/Bradstreet/bradbio.htm

Anne Bradstreet. https://www.poetryfoundation.org/poets/anne-bradstreet

Anne Bradstreet – American Poet. https://www.britannica.com/biography/Anne-Bradstreet

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)

John Cotton

John Cotton (1585-1652) adalah seorang pendeta di Massachusetts Bay Colony. Ia seorang yang sangat dihormati di dalam lingkungan orang-orang Puritan.

Pada dasarnya Cotton berasal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya, Rolland Cotton, seorang pengacara yang dapat memenuhi kebutuhan pendidikannya. Ibunya adalah seorang yang sangat saleh dan bersemangat.

Memulai panggilannya, ia menempuh pendidikan di Trinity College, Cambridge di usia ke-13. Di sekolah ini, ia banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh para pelayan Puritan. Menempuh pendidikan selama 15 tahun, ia belajar begitu banyak pengetahuan dari para sarjana-sarjana pintar dan pengetahuan dalam akan keilahian.

Bahasa Ibrani, menjadi bahasa yang sangat ia kuasai saat melanjutkan pendidikan di Emmanuel College. Bertahun-tahun kemudian, ia menjadi kepala pengajar di sekolah tersebut, lalu kemudian menjadi seorang dekan, serta penanggungjawab bagian pendisiplinan mahasiswa dan catechist.

Pada suatu hari, ia mendengar khotbah dari Dr. Sibbs. Seorang Puritan yang sangat baik dalam menjelaskan Yakobus bagian pertama. Khotbah ini disebut khotbah yang melampaui nature dan keperluan untuk regenerasi (lahir baru). Ia menunjukkan seseorang yang berada di posisi belum lahir baru, dan tidak memiliki kebenaran sama sekali, tetapi hanya ada kebaikan secara moral. Di sinilah Cotton merasakan pengharapannya yang salah selama ini dan kepercayaan diri terhadap pembenaran secara pribadinya. Ia menemukan pengajaran di dalam Alkitab, bahwa ia adalah pendosa di mata Allah.

Selama tiga tahun, ia terlarut dan jatuh sangat mendalam di dalam pemikirannya dan merasa sangat amat membutuhkan anugerah Tuhan dan ‘menerima’ pengampunan yang Tuhan telah berikan. Melalui luka yang sama, anugerah keselamatan dari darah Kristus mengalir dan menyembuhkannya. Cotton mendisiplinkan dan membangun dirinya terus menerus sehingga menjadi orang yang semakin dewasa dalam iman.

Cotton menjadi seorang pengkhotbah injil yang sangat berkuasa dan dikenal di kalangan Calvinis sebagai seorang doctor yang memiliki pemikiran yang sangat besar. Hal ini ‘dimateraikan’ dengan khotbah evangelical pertamanya yang diterima oleh orang banyak. Dan sejak saat itu, Cotton menjadi seorang pengkhotbah besar dengan pengaruh besar di era Puritan. Khotbahnya pun dikenal sangat sistematis, kontemplatif dan mengubahkan hidup seseorang hingga ke kehidupan mereka.

Di usia ke-28, ia diminta untuk melayani di Lincolnshire. Dengan berbagai perseteruan dari politik yang memengaruhi pelayanannya, ia akhirnya kembali menempuh pendidikan lanjutan. Di dalam pendidikan Master, ia melatih diri dalam hal spiritual. Ia pun dikenal karena perdebatannya melawan pandangan Arminian.

Tahun 1613, ia menikah dengan seorang bernama Elizabeth Horrocks, seorang wanita yang sangat baik. Mereka tidak memiliki anak di pernikahan ini. Tahun berikutnya, Cotton melayani di gereja St. Botolph’s. Tahun 1615, ia mengubah tata cara ibadah di gereja tersebut dan melarang liturgi gereja Anglikan.

Penyakit Malaria pada masa itu, menjadi penyebab kematian yang tinggi. Tahun 1631, Cotton dan istri terserang Malaria. Mereka pindah ke daerah yang mempunyai rumah sakit. Namun, Cotton yang semakin hari semakin pulih, tidak demikian dengan istrinya. Pada akhirnya, istrinya pun meninggal.

Pada April 1632, ia menikah lagi dengan seorang janda bernama Sarah Ηαwkridge. Di masa-masa pelayanannya ini, ia menimbulkan kontroversi yang sangat besar karena khotbah-khotbahnya yang sangat tidak ortodoks. Dipanggil di dalam persidangan dan akan dipenjarakan, Cotton pun pergi bersembunyi dan akhirnya menuju Amerika. Semula ia hendak ke Belanda, suatu daerah pemukian Puritan Inggris, namun akhirnya ia pergi ke Massachussets Bay Colony.

September 1633, ia tiba di Boston. Reputasinya yang sangat besar, membuatnya dipercayakan untuk melayani di geraja pertama di Boston. Hanya dalam beberapa tahun ia di Boston, tahun 1636, ia ‘terjebak’ di dalam Antinomian controversy. Khotbah yang ditekankan adanya perjanjian kerja antara Adam dan Tuhan, berbanding terbalik dengan apa yang Cotton khotbahkan. Yaitu keselamatan hanya total dari anugerah Tuhan. Namun setelah kontroversi ini berlalu, tahun 1638, kehidupan Cotton menjadi sedikit lebih mudah.

Tahun 1648, ia menolong Richard Mather dan Ralph Partridge untuk menulis pernyataan yang diadopsi dari gereja New England. Dan setelahnya pernyataan ini dikenal sebagai “The New England Way”. Ia pun menulis berbagai khotbahm tulisan pengajaran selama hidupnya. Ia pun meninggal di tahun 1652 akibat pneumonia. Ia dimakamkan di King’s Chapel Burying Ground di Boston, Massachusetts.

Sosok John Cotton adalah sosok yang dikenal di kalangan Puritan. Namun di masa awal hidupnya, pertobatan yang ia alami dengan sungguh baru terjadi ketika ia mengalami teguran dan secara personal mengerti akan keberdosaannya. Di masa penyadaran yang menyakitkan dan keterpurukannya berakhir pada kebangkitannya dalam kesadaran akan anugerah Tuhan. Ini juga yang membuatnya gigih dalam pembelajaran mengenal Tuhan dan relasi pribadinya di dalam pelatihan spiritual dan pelayanannya. Mengingatkan kita pula agar di dalam kehidupan pribadi, perlu untuk terus menerus merefleksikan diri dalam firman Tuhan, bertobat dan semakin gigih dalam mengenal dan melayaniNya.

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)

Sumber:

Life of John Cotton. https://archive.org/details/lifeofjohncotton00mlcclu

Reverend John Cotton: Puritan Reformist https://historyofmassachusetts.org/reverend-john-cotton/

Jodocus van Lodenstein

Jodocus van Lodenstein (1620-1677) lahir pada 6 Februari 1620 di Delft, South Holland. Keluarganya sendiri adalah keluarga yang sangat terpandang. Namun, dari kecil, ia dididik secara ketat dalam teologi dan kehidupannya sebagai seorang Kristen oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil pun ia diajarkan untuk hidup mengejar kekudusan. Di masa muda, ia mendapat pengaruh dari khotbah seorang Puritan Inggris, Thomas Hooker.

Van Lodenstein hidup sejaman dengan gerakan Puritan Inggris di abad 17 dan 18. Dengan pengaruh ini juga, ia sangat menekanakan kehidupan pietis dan penekanan pada kesucian hidup. Namun, di masa ia hidup, arus pemikiran dari Rene Descartes pun popular. Jika di zaman sebelumnya, seseorang hidup dengan sangat bergantung dengan pandangannya terhadap Tuhan, maka para Cartesianism (pengikut pemikiran Descartes) memandang hidup yang individual dan mandiri, terbebas dari pemikiran ikatan akan adanya Tuhan.

Bersamaan dengan hal di atas, Belanda sendiri mengalami “Golden Age Era”. Kemakmuran dari ekonomi yang dirasakan orang-orang Belanda, membuat masyarakat yang cukup mayoritas dari kalangan Kristen ini berubah menjadi materialism.

Pada usianya yang ke-16, ia masuk ke dalam perguruan tinggi, Utrecht Academy. Di sana, ia bertemu dengan Voetius, seseorang yang akan menjadi teman baiknya dan meneguhkan pandangan pietisnya. Mereka sepakat bahwa gerakan Reformasi yang sudah berlangsung sampai saat ini, tidak mencapai puncaknya. Seharusnya pengertian doktrinal yang benar, membawa setiap orang untuk hidup kudus pula di hadapan Tuhan.

Lulus dari Utrecht Academy, ia melanjutkan belajar di bawah Johannes Cocceius, seorang Jerman pietis, selama 2 tahun. Semenjak dari pendidikan hingga masa ini, ia semakin yakin dengan panggilannya sebagai seorang pelayan Tuhan. Sehingga akhirnya ia melayani Tuhan secara penuh waktu dan ditempatkan di gereja pertama, daerah Zoetermeer (1644-1650).

Van Lodenstein adalah seorang yang berpegang teguh pada teologi Reformed, namun juga memiliki penekanan pada Piestic dan Mistik. Di dalam pemikirannya, ia menekankan bahwa: “jika kita hidup diciptakan oleh Allah, jika keselamatan kita diberikan oleh Allah dan topangan hidup kita diberikan oleh Allah, maka hidup kita ini adalah sepenuhnya milik Allah. Baik tubuh dan jiwa kita. Tidak ada satupun yang lagi dapat kita berikan untuk kita sendiri.”

Sebagai orang Kristen yang sungguh, seharusnya merenungkan kesatuan di dalam Kristus dan memiliki relasi dengan intim denganNya. Maka, mengapa kesucian hidup, perenungan yang mendalam akan firman Tuhan dan penyangkalan diri adalah hal yang selalu ditekankan oleh van Londenstein.

Baginya, menjadi milik Allah sepenuhnya adalah ketika kita menyangkal diri sepenuhnya dan menundukkan diri di bawah keinginan Allah. Hati yang mati dan kering, seringkali disebabkan karena pengertian (knowledge) yang sering dianggap sama dengan spiritualitas pribadi kita. Padahal, hal ini tentu berbeda. Meskipun tentu ada kaitannya.

Kehidupan yang suci, bukan sekedar perenungan antara relasi kita dengan Tuhan saja. Van Londenstein pun menyebutkan bahwa itu harus tampak keluar dari hidup kita sehingga menjadi dampak bagi orang sekitar kita. Maka, pada masa pelayanannya dari kota yang pertama, kedua (Sluis, 1650-1653) dan ketiga (Utrecht, 1653-1677), ia selalu berkhotbah, mengajarkan teologi Reformed, melakukan pembesukan kepada anggota-anggota gereja, menolong orang-orang miskin dan kesulitan lainnya.

Dari pribadi Van Londenstein menyentil pikiran dan hati kita sekali lagi atas kalimat Paulus di Galatia 2:20 “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Sungguh kah kita dapat menyangkal penuh diri kita untuk menjadi sepenuhnya milik Allah? Menjadi milik Allah, rela sepenuhnya menyangkal diri dan tunduk di bawah keinginan Allah. Kalimat yang tentu sering kali kita dengar, tapi apakah kita sanggup menghidupinya dan menyatakan keluar? Kiranya pembelajaran dari salah satu tokoh Reformed Spirituality ini sekali lagi membuat kita merenungkan lebih dalam dan lebih jauh akan kehidupan kita yang dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup. Dan membawa kita ke dalam pertobatan yang terus semakin bertumbuh dan berbuah di dalam Kristus dan GerejaNya.

(Diringkas dari Spiritual Appeal to Christ’s Bride oleh Sdri. Paulina)

Henry Martyn

Henry Martyn lahir dari sebuah keluarga yang kaya raya. Ayahnya adalah seorang pedagang, terhormat, bahkan mengisi waktu luang dengan persekutuan doa dan belajar matematika. Di tengah ayahnya yang begitu cemerlang, Henry mewarisi kesehatan yang lemah dari ibunya. Ibu dan dua saudara perempuannya meninggal akibat TBC.

Ayah Henry begitu menaruh pengharapan yang besar kepada Henry. Hal ini karena mereka memiliki kesamaan, yaitu kecepatan dan kecintaannya terhadap belajar. Hal ini terlihat di dalam prestasinya di sekolah. Ia memiliki prestasi yang baik dan kemampuan yang tinggi. Ketika masuk di dunia universitas, ia menempuh pendidikan di Cambridge. Dikenal sebagai orang yang tidak pernah melewatkan waktu dengan sia-sia.

Di dalam kehidupan kuliah, ia memiliki seorang panutan, yaitu John Kempthorne. Ia mengingatkan Henry untuk hidup bukan mencari kebanggaan manusia, tetapi perkenan dari Allah. Henry pun percaya bahwa kepercayaannya kepada Allah akan memengaruhi keseluruhan aspek kehidupannya. Namun hal ini berbalik berbeda saat ia menginjak usia 18 tahun. Ia bertumbuh sebagai seorang yang sombong dan meninggalkan kehidupan rohaninya.

Namun, hal yang besar di dalam hidup Henry, membuatnya terguncang. Ketika ayahnya meninggal, ia tergerak akan perkataan-perkataan yang ayahnya ucapkan semasa hidupnya. Doa dari adiknya dan bimbingan dari John. Hal-hal ini yang akhirnya menguatkan Henry di masa sulitnya. Di masa hidup yang terguncang memikirkan kehidupan setelah kematian sebagaimana setelah ayahnya meninggal, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi dalam mempelajari matematika. Saat itulah keinginan dan kebutuhan akan hal yang berbau rohani sangat kencang terasa di dalam dirinya. Ia pun membuka Alkitab. Di saat itu, ia mulai disadarkan melalui Firman yang ia baca. Ia sangat rajin untuk berdoa dan membaca Alkitab. Hingga ia menemukan kenikmatan di dalam mambaca firman dan berdoa.

Kehidupan kerohaniannya bertumbuh, sehingga setelah menyelesaikan perkuliahannya di bidang matematika, ia mencari panggilan profesinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melayani Tuhan. Ia menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan sepenuhnya. Meskipun ketika Henry harus ditempatkan sebagai pendeta yang membantu pendeta Simeon dan Henry merasa malu dipermulaan. Tentu karena ia adalah murid yang pintar, penuh penghargaan sehingga memiliki popularitas yang tinggi. Sedangkan saat ini, semua hal itu ia buang demi melayani Tuhan.

David Brainerd, seorang misionaris kepada suku Indian, menjadi inspirasi bagi Henry. Ia pun tergerak untuk menjadi seorang misionaris. Namun dengan kesehatan fisik yang lemah, selama melayani, ia mengelami kesulitan-kesulitan yang ada. Perlahan-lahan, di usia ke-21, ia yakin kalau ia dipanggil untuk misi keluar negeri.

Menarik jika melihat hidup pribadi Henry. Ia sendiri dekat dengan seorang wanita bernama Lydia Grenfell. Wanita saleh dan yang juga senang melayani. Henry sempat menghabiskan waktu berdua dengannya dan teman-teman Henry merasa, Lydia adalah pasangan yang cocok untuk Henry. Namun di tengah-tengah itu, Henry bergumul, apakah ia sedang mengilahkan Lydia sehingga sulit merasakan kehadiran Allah. Meski akhirnya ia yakin akan cintanya kepada Lydia, namun ia tidak sempat melamarnya karena harus berangkat dengan menggunakan kapal untuk menuju ke India.

Henry pun akan menjadi misionaris yang berangkat ke India. Ia berangkat menggunakan kapal dagang yang disertai dengan kapal yang mengangkut ribuan prajurit. Perjalanan yang panjang dan sulit karena di tengah peperangan yang ada. Ia melayani para prajurit di kapal tersebut. Walau karena kepintarannya dari sisi akamedis, ia tentu mampu membedakan dan menurunkan khotbahnya sebagaimana yang dimengerti para prajurit. Namun sayangnya masih banyak yang merasa khotbahnya sangat sulit dimengerti.

Meski pelayanannya tampak sulit diterima, namun Henry terus setia melayani para prajurit. Ia mengunjungi mereka yang terluka, tidak dapat lagi mengikut perang dan sebagainya. Di tengah pelayanannya di kapal, situasi dan kondisi di dalam kapal menambah buruk keadaan fisiknya. Ia menjadi sering sakit. Di tengah kesulitan dalam pelayanannya membuat ia semakin sadar bahwa ia harus bergantung kepada Tuhan sepenuh-penuhnya. Dan Tuhan menjawab doanya. Pelayanannya di tengah kapal itu membuahkan hasil. Beberapa orang tertarik dengan Kekristenan dan datang menghadiri persekutuan yang rutin diadakan Henry.

Waktu perjalanan yang panjang di kapal, digunakan Henry untuk belajar bahasa-bahasa daerah yang akan dipakainya di India. Sehingga ketika tiba di India, ia dapat berbicara dengan penduduk lokal dan hidup di tengah mereka. Meski ketika tiba, Henry sangat sedih dengan penyembahan berhala di mana-mana. Henry terus melayani penduduk lokal, termasuk para petinggi agama Hindu dan Islam di sana. Ia juga terus mempelajari secara dalam bahasa Hidustan, Persia dan Bengali.

Hingga pada suatu waktu, ia sadar bahwa injil seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, untuk membantu mereka mengerti injil. Kecintaannya terhadap bahasa dan teman yang mampu bertukar pikir bersamanya, membuatnya berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Hindustan, Sansekerta dan Persia.

Di usianya yang ke-30, ia memutuskan untuk pergi ke Arab. Satu kota yang sudah lama ia gumulkan dan akhirnya Tuhan menghantarnya ke sana. Sebelum tiba di Arab, ia tiba di Timur Tengah, tentu Henry menghadapi masyarakat dan budaya yang berbeda lagi. Namun tidak menghentikan semangatnya ketika tiba di Arab. Ia banyak berbincang dengan masyarakat lokal dan pemimpin Islam yang percaya bahwa Kristus adalah nabi yang lebih kecil jika dibanding dengan Muhammad. Di sana ia terus berusaha untuk menerjemahkan Perjanjian Baru. Pekerjaannya yang keras dan keinginan yang kuat ini membuatnya berhasil menerjemahkan dalam waktu 8,5 bulan. Henry menjadi berkat bagi orang-orang muslim di Shiraz.

Kesehatannya yang buruk dan keadaan perjalanan yang panjang membuatnya tidak sanggup menjalani perjalanan yang ada. Di dalam catatan hariannya, ia menuliskan bahwa “jika Tuhan menginginkan ia mengerjakan sesuatu, tidak mungkin hal itu tidak terjadi”. Namun, Tuhan mengijinkannya meninggal di perjalanan menuju Konstantinopel (Turki). Henry dilayani pemakamannya oleh para pendeta yang tidak mengenalnya.

Perjalanan iman dan pelayanan para misionaris menjadi hal yang menginspirasi ketika kita membacanya. Namun, tentu keinginan keras mereka didorong oleh hati yang mengasihi dan mencintai Tuhan dengan sepenuhnya. Jikalau kita ingin mengetahui, apa yang membuat kecintaan para misionaris sangat besar. Terlebih dahulu dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari yang sederhana yang mereka lakukan. Yaitu membaca firman dan berdoa kepada Tuhan. Sehingga perlahan-lahan, anugerah Tuhan itu tiba pada kita, kita didorong oleh kasih yang sejati kepadaNya dan siap diutus olehNya untuk melayani di tempat yang Ia inginkan.

Seri Biografi Misionaris: Henry Martyn: Saksi Kristus di Tanah Arab – Momentum

(Diringkas oleh Paulina Prasetyo)

John Elliot

Tahun kabisat, 29 Februari 1704, terjadi peristiwa yang mendapat tempat yang sensasional di koran-koran di New England. Di Deerfield, Massachusetts, sekelompok orang Indian menyerang pemukiman orang Inggris di sana. Membunuh empat puluh Sembilan orang, yang laki-laki dikuliti kepalanya, dan membawa kembali seratus sebelas orang sebagai tawanan ke tempat perkembahan mereka di Utara.

Seratus tahun sebelumnya, pada Tahun Kabisat yang lain, pada tanggal 5 Agustus 1604, John Eliot lahir di keluarga Kristen yang bergereja di wilayah St John the Baptist, Widford, Herts. Ayahnya adalah seorang petani pemilik lahan yang digambarkan sebagai orang yang baik dan sangat merawat dengan baik baik tanah barang-barang miliknya bahkan keluarganya sendiri.

Di usia yang sangat dini, John Eliot sangat mengerti hidup rajin dan berhemat. Kerajinan, kesederhanaan dan penghematan dan menjadi tetangga yang baik menjadi hal yang sangat diingat oleh orang-orang yang mengenalnya.

Ayahnya mewariskan kepadanya keuntungan yang diperoleh, agar ia bisa masuk ke universitas. Dan ia pun berhasil masuk dan menerima pendidikan di Cambridge. Di dalam kehidupannya, sejak kecil, ia menerima didikan religius dari lingkungan Puritan. Dibawa dengan setia ke Gereja dan diberi katekisasi dan pelajaran oleh pendeta setempat. Mungkin sekali keluarganya menganut pandangan Puritan. Pelayanan Firman Allah ditangani oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan saleh. Demikianlah sekilas kehidupannya sebelum ia melangkahkan kaki ke pendidikan selanjutnya di Universitas Cambridge.

Ia menyelesaikan kuliah dalam empat tahun dan mendapat gelar Bachelor of Art. Selama masa kuliahnya, ia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam hal belajar. Bahkan dalam diskusi tentang agama dengan pemuda-pemudi di sana. Topik yang menjadi perhatian praktis di Inggris masa itu. Dalam kepandaian yang dimilikinya, namun ia begitu setia dengan Kitab Suci. Dia sangat tertarik dengan bahasa Ibrani dan Yunani.

Tahun 1631, Elliot memulai mengabarkan Injil di benua Amerika menggunakan kapal Lyon bersama tunangannya. Tiba di sana, ia berhadapan dengan penduduk asli berkulit merah yang hidup secara primitif, berpakaian minim, tinggal di gubuk, berburu dan hidup berpindah-pindah. Hampir tidak pernah memikirkan kehidupan setelah kematian dan hidup jauh dari agama yang mereka punya. Hal ini membuat kesadaran pada John, bagaimana jauh berbedanya orang yang hidup di sana dengan di perguruan tinggi Cambridge.

 

Ia bertugas secara resmi di Congregational Church di Roxbury, menikah dengan tunangannya dan melayani di bulan November 1632. Di sana ia melaani sampai akhirnya meninggal juga di sana. Baginya, khotbah dan praktek adalah dua sisi mata uang yang sama.

Elliot sangat memikirkan apa yang dikerjakannya untuk tujuan mengajarkan Firman Allah dalam nyanyian dan bukan merangsang telinga dengan irama yang manis. Dalam masa hidupnya bahkan dua puluh tahun setelah meninggalkan Universitas, pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa asli menjadi bekalnya dalam elayani di ladangnya. Tahun 1640, buku pertama yang lengkap dicetak di New England. Yaitu, The Whole Book of Psalms yang digunakan Elliot dalam pelayanannya.

Tahun 1644, ia memberikan perhatian kepada studi dialek Algonquin. Ia belajar bahasa yang dipakai orang Indian ini dari seorang pemuda, yang ia ajari cara hidup yang lebih beradab.  Ia menghasilkan buku Key Into the Language of America. Tentu hal ini dilakukannya untuk dapat mengabarkan Injil kepada orang Indian. Di usianya yang ke-40 tahun, ia mempelajari bahasa ini semakin dalam dan perlahan-lahan menerjemahkan 10 Hukum Taurat, Doa Bapa Kami dan lain-lain.

Pekerjaan Elliot kepada orang Indian, dimulai dengan kecurigaan yang besar kepada orang kulit putih. Dibutuhkan keberanian, tujuan yang terfokus, kebijaksanaan, kesungguhan yang besar dan kesabaran yang tiada batasnya untuk memenangkan orang-orang primitif ini bagi pengenalan akan Kristus, dan sebagai konsekuensinya, penerimaan atas banyak hal yang telah mereka asosiasikan dengan hidup para penyerobot.

Ia memperjuangkan kehidupan orang suku Algonquina dalam hal hak memiliki tanah yang cukup. Perpindahan orang kulit putih ke wilayah mereka, membuat mereka sulit untuk hidup karena wilayah berburu mereka semakin kecil, tanah yang didapatpun tidak subur.

Tahun 1646, Ia dan rekan-rekannya mulai membuat traktat dan tahun 1647 menerbitkannya. Di dalam traktat tersebut, ia pun mengajarkan mereka untuk hidup beradab dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan primitive dan ritual-ritual mistis mereka.

Selain menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku Indian, ia juga memperjuangkan suku Indian ini untuk membangun kota dan meninggalkan hidup berpindah-pindah. Ia memperjuangkan penerjemahan buku-buku rohani, katekisasi dalam bahasa Algonquin. Tuhan memberikan kepercayaan yang besar kepadanya.

Dipengaruhi didikan rohani dari lingkungan Puritan, Eliot pun sadar bahwa pertumbuhan spritiual orang-orang Indian ini menjadi bagian yang penting untuk mendapatkan perhatian. Buku-buku spiritual yang baik, ia terjemahkan ke dalam bahasa lokal. Misal, Call to the Unconverted, Practice of Piety, The Sincere Convert. Ia pun mewariskan sejumlah tanah untuk kaum tersebut sebagaimana yang ayahnya berikan. Hal ini dengan tanah 3200 m2 untuk sebuah sekolah. Untuk mendidik orang-orang kota itu.

Pelayanan dan dedikasinya terhadap wilayah tersebut. Selama empat puluh tahun pelayanannya, Eliot me

mainkan peranannya dalam petualangan akbar dari misi Indian yang pertama. Tulisan-tulisannya hidup. Edisi pertamanya hampir tak ternilai harganya, bahkan yang lebih tak ternilai adalah teladan yang diberikannya, bahwa dari pekerjaan orang yang berhati sederhana utnuk Tuhan yang “setelah ia melayani gereasinya sendiri karena kehendak Allah, ia jatuh tidur.” John Eliot pun diberikan julukan “Rasuk bagi orang Indian.”

Sosok seorang John Eliot dalam kepandaiannya yang tinggi, namun kehidupan yang saleh, membuatnya justru menjadi seorang yang pula menjadi berkat yang besar. Kepintarannya dan kecintaannya dalam mempelajari bahasa, kecintaannya akan panggilan Tuhan terhadap bangsa Indian dan kesanggupannya dalam menyangkal diri, membuatnya dipakai oleh Tuhan dengan sedemikian berlimpah. Kiranya dari kisah hidupnya yang nyata ini, menjadi satu dorongan bagi kita untuk merenungkan panggilan Tuhan terhadap kita. Bukan untuk memulainya saja, tetapi untuk bertahan menjalaninya serta berjuang untuk memperkembangkannya.

John Eliot: Rasul Bagi Orang Indian. Seri Misionaris Perintis – Buku Momentum

(Diringkas oleh Paulina Prasetyo)