Andrew Gih

Andrew Gih (baca: Ji), bernama asli Ji Zhiwen, lahir di Shanghai, Tiongkok, 10 Januari 1901. Ayahnya, Ji Youren, seorang Konghucu terpelajar. Ibunya seorang Buddhist yang taat menjalankan norma agama. Andrew Gih sendiri sejak kecil seringkali diajak ibunya ke tempat ibadah dan mendengarkan ceramah. Akan tetapi, ia tidak memiliki ketertarikan sama sekali dengan agama.

Usia 12 tahun, ayahnya meninggal. Sebagai anak tertua, ia membantu ibunya bekerja untuk menafkahi keluarga dan adik-adiknya. Ia adalah seorang anak yang sangat pendiam. Pada usia 18 tahun, ia masuk ke Sekolah Menengah Bethel Mission. Didirikan oleh seorang misionaris dari Eropa. Ketika masuk ke sekolah ini, ia tidak memiliki cita-cita lain yang berhubungan dengan pelayanan misi. Ia murni hanya ingin belajar bahasa Inggris. Sehingga, chapel setiap pagi mau tidak mau, harus dihadirinya. Demikian juga dengan kegiatan membaca Alkitab.

Suatu ketika, seorang misionaris bernama C.F. Tippet mengadakan KKR di sekolahnya. Topiknya adalah “Semua manusia berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”. Mendengar firman yang disampaikan, menggugah hatinya. Kasih Allah memenuhi hatinya. Malam itu, ia berlutut di hadapan Tuhan untuk pertama kalinya. Ia menangis dan berteriak dengan suara yang lantang. “Tuhanku, Juruselamat ku. Kasihanilah si pendosa ini!”. Saat itu juga, Allah mengangkat beban yang ada di hatinya dan ia merasakan sukacita yang melimpah. Setahun kemudian, ia mengabdikan diri menjadi hamba Tuhan. Kemudian menikah dengan Dorcas Zhang Chui-Ing di Shanghai tahun 1928.

Ia banyak melakukan KKR di berbagai kota di Tiongkok. Pelayanannya menjadi berkat di Guangxi, Guangdong, Fujian dan Xiamen. Ia bersama tim pun melayani pengabaran injil di sekitaran China, seperti Manchuria, Mongolia, Tibet dan Xinjiang. Andrew Gih tercatat pernah bekerja sama dalam pemberitaan Injil bersama John Sung. Pelayanan mereka memberikan kebangkitan kekristenan di Tiongkok.

Kemelut politik di Tiongkok mendorongnya untuk memberitakan Injil ke luar negeri. Akhirnya ia melayani daerah asia tenggara seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan Indonesia. Tahun 1950, ia pertama kali datang ke Indonesia mengadakan KKR di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Andrew Gih melayani pemberitaan firman di dalam bahasa Mandarin.

Berdasar penelitian ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, tahun 1961, populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia sekitar 2.505.000 (2,5%). Artinya, etnis Tionghoa yang merupakan pendatang di Indonesia, mayoritas fasih berbahasa Mandarin. Ditambah tentu masih sangat minim yang beragama Kristen. Hal ini pun dapat kita pastikan dari sejarah negara Tiongkok sendiri yang bukan negara Kristen. Maka, pelayanan Andrew Gih menjadi berkat bagi banyak masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia yang belum terjangkau Injil. Pelayanannya sempat pula bersama John Sung di Indonesia. Memberikan kebangkitan kekristenan di kalangan Tionghoa Indonesia. Sehingga, tidak heran jika semakin banyak pula etnis Tionghoa yang beragama Kristen hingga saat ini.

Di Bandung, ia merintis Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK) yang diresmikan pada tanggal 10 Mei 1952. Ia juga mendirikan Sekolah Theologi Madrasah Alkitab Asia Tenggara (MAAT) di tahun yang sama, yang kemudian berubah nama menjadi Seminari Alkitab Αsia Tenggara (SAAT) di Malang, Jawa Timur. Sekolah ini didirikan atas dasar keperluan mendesak, adanya hamba Tuhan yang melayani gereja-gereja Tionghoa di Indonesia yang berbahasa Mandarin. MAAT saat itu menggunakan bahasa pengantar Mandarin. Sehingga, kebutuhan hamba Tuhan dapat pelan-pelan diisi di gereja-gereja tersebut. Ia mendirikan sekolah-sekolah Kristen pula.

Andrew Gih masih sering mengadakan KKR ke berbagai kota di Indonesia. Dalam salah satu KKR yang ia layani, hadir pula seorang remaja. Ia bernama Stephen Tong, yang saat itu dipengaruhi pemikiran atheisme, komunisme, modernisme dsb. Remaja ini pun bertobat dan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan dalam pelayanan Andrew Gih.

Andrew Gih meninggal dunia pada tanggal 13 Februari 1985 di Los Angeles, California, AS, di usia 85 tahun. Ia begitu gigih memberitakan Injil, bukan saja bagi negaranya tetapi juga bagi negara lain. Pelayanannya dalam pemberitaan Injil menjadi berkat besar bagi sejarah kekristenan di Indonesia. Bahkan, bukan hanya bagi etnis Tionghoa saja. Tetapi, berbagai etnis yang juga ada di Indonesia. Edwin Orr mendeskripsikan pribadi Andrew Gih sebagai “He is a man of prayer, a soul-winner, a man of faith, and a channel of revival. That God has called him to evangelism and revival ministry is evident.”

Andrew Gih membuktikan bahwa pemberitaan Injil dapat mengubah berbagai macam latar belakang manusia. Mulai dari dirinya sendiri yang bukan lahir dari keluarga Kristen bahkan tidak peduli dengan agama. Hingga, buah pelayanan yang kita lihat saat ini melalui Pdt. Stephen Tong, seorang yang meninggalkan iman Kristen, tetapi dimenangkan oleh Injil. Maka, apalagi yang kita tahan ketika memiliki Allah dan Injil-Nya yang hidup, yang sanggup mengubah hati dan arah hidup serta sejarah umat manusia?

Sumber Bacaan:

Sekilas KIN 2013 edisi 6. http://kin.stemi.id/sekilaskin

https://www.buletinpillar.org/artikel/andrew-gih-20th-century-chinese-revivalist

http://bdcconline.net/en/stories/andrew-gih

http://biokristi.sabda.org/andrew_gih

https://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia#Populasi_di_Indonesia

(Disadur oleh Sdri. Paulina)

Johann Gottlieb Schwarz

Johann Gottlieb Schwarz lahir pada tanggal 21 April 1800 di kota Konigsbregen, wilayah Jerman Timur yang kini masuk wilayah Rusia dengan nama Kaliningrat. Lahir dalam keluarga yang sangat beragama. Sehingga, Alkitab selalu menjadi bacaannya sehari-hari. Tahun 1821, ia membaca berita mengenai penginjilan Bärenburg di tengah mayoritas agam lain. Dan ini yang mendorongnya untuk pergi menginjili dan berdoa untuk hal ini.

Tahun 1821, dibuka suatu “Zendeling Institut” untuk mendidik pendeta-pendeta penginjil di kota Berlin. Keinginannya masuk ke sekolah ini, direstui orangtuanya. 31 Agustus 1821 ia tiba di Berlin, menunggu dibukanya sekolah itu pada 1 Mei 1822. Ia bertemu dengan Johann Frederik Riedel yang akan menjadi teman penginjilannya kelar. Mereka belajar sampai tahun 1825, setelahnya NZG meminta Schawrz dan Riedel untuk menjadi penginjil di tengah mayoritas agama lain, dan mereka menyetujuinya.

12 Januari 1828, ia berangkat ke Rotterdam dan bersama Riedel, menambah pendidikan sampai tahun 1829. November 1830, Schwarz, Riedel dan Douwes Dekker menuju Indonesia dan tiba di Batavia, kemudian ke Surabaya dan tiba di Ambon 23 November 1830. Di Ambon, dia mempelajari bahasa Melayu dan dalam waktu singkat melanjutkan perjalanan ke Manado dan tiba 12 Juni 1931.

Bulan Juni hingga Oktober 1831, ia mempelajari bahasa Tombolu, Toulor, Tonsea, dan Tountemboan. Setelahnya, ia ke Singapura untuk memperlengkapi diri untuk penginjilan, sekolah dan obat-obatan. Ia kembali dan 7 Januari 1832 tiba di Langowan. Rumahnya di Langowan itulah saat ini berada SMU Kristen Schwarz Langowan.

Penduduk Langowan sejak dahulu sudah beragama alifuru. Pada saat Schwarz tiba, mereka berkumpul untuk mengadakan upacara keagamaan dan sekarang tempat itu berdiri gedung gereja GMIM. Bahasa daerah yang masih terbata-bata membuatnya cukup sulit berkomunikasi dengan penduduk setempat. Kedatangannya tidak terlalu disambut baik. Hal ini terjadi karena pemimpin agama setempat adalah istri dari kepala daerah wilayah tersebut. Ia sangat sulit masuk kepada penduduk karena ikatan yang erat antara penduduk dengan kepala daerah dan kepala agama tersebut.

Namun, pintu yang membukakannya untuk dapat berinteraksi dengan penduduk masa itu adalah pengobatannya terhadap sakit malaria, demam, obat-obat luka dan lain-lain. Banyak yang sadar atas kegunaan obat-obat dan Schwarz memperkenalkannya sebagai pertolongan Tuhan. Kontak dengan penduduk mulai terbuka setelah tahun 1834, dengan bantuan  F. Constans yang fasih menggunakan bahasa Melayu, Tombulu, Tonsea dan Tountemboan sehingga kesulitan bergaul itu teratasi.

Kesulitan berikut yang akhirnya terpecahkan. Antara tahun 1832-1833, Gubernur DE Struers memecat kepala daerah setempat. Pada masa itu, orang yang dibaptis baru 6 orang. Setelah Mayor Sigar (mantan kepala daerah setempat) menjadi Kristen dan dibaptis tahun 1841, segera diikuti oleh orang-orang Langowan sehingga sejak itu agama Kristen berkembang pesat di Langowan.

September 1842, sekitar 300 orang dibaptis di Langowan. Pelayanannya berkembang melalui sekolah yang didirikan. 14 sekolah ditanggung pemerintah, 14 sekolah dalam tanggungannya, jumlah murid kurang lebih 1200 orang. Tahun 1848, wilayahnya di Langowan, Ratahan, Kakas, Rembokan, Rompaso Kawangkoan dan Sonder sudah terdapat 15 sekolah, jumlah murid kurang lebih 1300 orang. Jumlah anggota sidi jemaat ada kira-kira 1000 orang dan jumlah baptisan kurang lebih 3000 orang.

Tempat yang dahulu pusat agama alifuru menjadi bangunan gereja pertama di Langowan, diresmikan tanggal 18 April 1847. Bertempat di mana gereja GMIM Sentrum Schwarz berada sekarang. Dalam kebaktian penahbisan gereja itu, dilantik sekorang Hulpzendeling yang bernama Adrianus Angkow dan menempatkannya di Sonder. 12 Juni 1856, diadakan perayaan 25 tahun Schwarz masuk Minahasa di gedung gereja yang pertama dan satu-satunya di Langowan pada masa itu. Tiga tahun setelahnya, Schwarz meninggal dunia di Manado, tepatnya 1 Februari 1859 dan dimakamkan di Langowan pada tanggal 2 Februari 1859. Kuburan Schwarz bersama istrinya sekarang ada di lapangan olahraga GMIM Langowan.

Keinginan dan kerinduan memberitakan Injil, mendorong Schwarz untuk memikirkan seluruhnya secara utuh. Ia mempersiapkan diri untuk melakukan penginjilan, mendirikan sekolah dan mengerti mengenai obat-obatan. Ia belajar bahasa daerah untuk dapat berinteraksi dengan penduduk lokal dan dapat memberitakan Injil kepada mereka. Panggilan yang Tuhan berikan kepada seseorang, akan mendorongnya mendoakan, memikirkan, mempersiapkan dengan sebaik-baiknya. Bukan dengan dorongan dari yang fenomona tetapi dorongan kecintaan akan Tuhan, Firman Tuhan dan jiwa-jiwa di daerah yang belum mendengarkan Injil. (theminahasa.net)

Joseph Kam

 

Joseph Kam, lahir di September 1769 di Utrecht. Sebuah kota yang berada di Belanda. Ayahnya, Joost Kam, seorang pengusaha kulit dan pembuatan wig. Keluarga Kam merupakan Calvinist yang saleh dan anggota gereja Reformed di desanya. Memiliki kakak lelaki yang kemudian menjadi pendeta dan melayani di gereja, menyisakan Joseph seorang diri yang menjadi pengharapan orangtua untuk melanjutkan usaha keluarga.

Bisnis yang dijalani oleh Joost Kam membuatnya memiliki relasi yang sangat dekat dengan para pemimpin Moravian. Joseph pun memiliki relasi yang juga baik terhadap para pemimpin ini. Karena itu, kita dapat menemukan bahwa pemikiran teologi, pelayanan dan kehidupan spiritual Joseph Kam sangat dipengaruhi oleh Reformed dan juga Moravian yang dikenal pietis. Pembentukan ini membuat Joseph memiliki kerinduan untuk mengabarkan injil melalui perjalanan misi ke luar wilayahnya.

Sebelumnya, Gereja Reformed Belanda mulai tahun 1571 menggalakkan perjalanan misi pengabaran injil sebagai buah pemikiran teologisnya. Mereka mengadakan berbagai diskusi, pelatihan dan pengiriman misionaris ke luar wilayah mereka. Tahun sebelumnya, Gerakan pengiriman misionaris ini sangat berelasi erat dengan VOC. Namun, tahun 1624 hingga 1634, Gereja Reformed Belanda banyak menentang kebijakan VOC, hingga akhirnya dibubarkan oleh VOC. Desember 1797, Johannes Theodorus van der Kemp memimpin 20 orang dan mendirikan Nederlandsch Zendeling-Genootschap (NZG, Netherland Missions Society). Lembaga misi ini menjadi cikal bakal pengaruh yang besar terhadap pelayanan Joseph Kam nantinya.

Tahun 1804, Kam dan kedua saudarinya pindah ke The Hague. Di sana, Joseph Kam terus berasosiasi dengan gereja Reformed dan komunitas Moravian. Ia pun menikah dengan Alida. Januari 1806, Alida meninggal saat melahirkan anak perempuan pertama mereka. Sebulan setelahnya, putrinya pun meninggal. Krisis yang terjadi di usia 36 tahun ini, membuatnya membulatkan tekadnya untuk bermisi. Bulan Desember, ia melayani di NZG.

“Melayani Sang Penebus dan memberitakan Kerajaan-Nya adalah ungkapan syukur saya atas kesatuan saya dengan-Nya”. Kalimat ini yang Joseph Kam tulis ketika mendaftarkan diri ke NZG. Setelah diterima, Joseph Kam menjalani menjalani pelatihan yang diadakan oleh NZG yang bekerjasama dengan the Zeith Morivian. Fase kedua yang Joseph Kam lewati adalah kerjasama antara NZG dan LMS (London Missionary Society). Melalui LMS, Joseph Kam dan dua rekannya dikirim ke Indonesia. Tahun 1815, mereka tiba di Ambon, Maluku.

Era sebelum Joseph Kam tiba, Ambon menjadi tempat perdagangan rempah-rempah dan administrasi Belanda. Gereja-gereja di sana, banyak dibangun atas asosiasi VOC dengan lembaga misi yang ada. Namun, ketika Belanda kalah dan Indonesia diduduki oleh Inggris, banyak pendeta yang meninggalkan gerejanya. Joseph Kam tiba di sana, bertemu dengan jemaat-jemaat yang ditelantarkan, yang menyerah atas gereja dan tidak dapat menemukan pendeta sama sekali. Bahkan di beberapa pulau luar, terdapat desa-desa yang tidak dilayani selama kurang lebih 14 tahun.

Kedatangan Joseph Kam di masa itu, membawa pengharapan bagi orang-orang percaya yang masih bertahan di sana. Sebelum ia datang ke Indonesia, ia telah ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Maka, kedatangannya menjadi sukacita bagi orang-orang Kristen di sana. Joseph Kam melayani perjamuan kudus, katekisasi, membaptis anak-anak jemaat, memimpin pernikahan dan melayani penduduk yang awalnya berkepercayaan animism dan kemudian menjadi Kristen.

Kam menghabiskan beberapa tahun pertamanya untuk naik turun gunung, menyeberangi dengan kapal, menuju ke jemaat yang selama ini diterlantarkan. Sekitar 7.500 orang dibaptis dari pelayanan awalnya. Ia mengambil waktu juga untuk melayani para penatua, mengunjungi para jemaat dan hal ini berlangsung menjadi hal yang rutin. Joseph Kam diberi sebutan sebagai “Tukang Sakramen”.

Tujuh belas tahun berikutnya, Kam memperbaiki setiap administrasi gereja dan infrastrukturnya. Menyusun disiplin gereja, menerjemahkan Alkitab dan juga katekismus. Ia mempersiapkan percetakan bacaan-bacaan Kristen untuk orang-orang yang bukan pelayan penuh waktu di gereja. Ia pun memberikan edukasi atas sembahyang kepada leluhur yang seharusnya tidak lagi dilakukan.

Ia memberikan hatinya sepenuhnya kepada orang Maluku dan tinggal di sana. Penekanannya bukan hanya kepada pembelajaran mengenai kekeristenan, tetapi juga praktek yang meniadakan batasan dengan penduduk, penekanan pada penginjilan, pemuridan dan penekanan pada kebiasaan yang seharusnya ada di komunitas Kristen, menjadi penekanan utamanya juga.

Delapan minggu setelah ia tiba di Maluku, ia menikah dengan seorang wanita keturunan Eropa-Indonesia, Sara Timmerman. Bukan saja seorang istri yang mendukungnya, tetapi pasangan yang sepadan, pasangan spiritual yang sehati dalam permasalahan pengajaran dan mentoring.

Komitmennya yang sangat dalam dan teguh untuk orang-orang Maluku sangatlah signifikan untuk pelayanan misi pada masa itu. Banyak misionaris yang datang ke sana, meski banyak di antaranya meninggal tidak lama setelah tiba di Maluku. Banyak orang Maluku yang menerima Kam dan menganggapnya sebagai orang dalam juga. Bahkan ketika sekelompok orang merencanakan menargetkan orang putih untuk diserang, mereka sepakat untuk mengecualikan Kam dari incaran mereka. Kam pun melayani di pulau-pulau sekitar lainnya untuk mengabarkan injil.

Kam dan Sara banyak melatih orang-orang lokal untuk dapat menjadi pengajar-pengajar. Serta membekali mereka dengan kemampuan praktek berdagang dan mengirim mereka ke pulau lain untuk melayani. Kam memulai juga doa misi untuk orang-orang Eropa dan Ambon. Ia pun memulai dialog dengan orang-orang Islam dalam membicarakan mengenai Nabi Isa. Lima tahun sejak ia tiba, ia telah membaptis lebih dari 120 dewasa Islam menjadi seorang Kristen.

Apa yang menjadi penggeraknya selama ini, karena ia percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk memimpin ibadah, berdoa maupun bernyanyi. Ia menulis hymn, bacaan renungan, dan khotbah dalam bahasa yang mudah digunakan oleh orang awam untuk memimpin suatu ibadah maupun persekutuan kecil. Ia sangat menyukai ibadah dengan music, sehingga ia mengorganisir orchestra dengan suling bambu di dalam ibadah mereka, hingga adanya grup vocal. Hingga saat ini, orang-orang Maluku sangat dikenal dengan kemampuan bernyanyi.

Kam memegang peranan penting di dalam misi-misi di kota-kota lainnya di Indonesia. NZG mengirimkan misionaris mereka ke Indonesia, dan mereka akan dilatih oleh Kam di gereja miliknya. Hal ini memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kemajuan kekristenan di Timur Indonesia. Nama-nama seperti Reynt le Bruyn, Johann Schwarz, and Johann Riedel, menjadi pengaruh besar di Kupang, Timor dan Minahasa, Sulawesi Utara, untuk membangun ulang gereja yang ada di sana. Tahun 1880, 80% dari populasi di sana, termasuk orang-orang penting dalam kepercayaan lokal di sana, menjadi seorang yang juga mengikut Yesus sebagai Tuhan mereka.

 

Sumber Bacaan:

A History of Christianity in Indonesia – Jan Sinar Aritonang and Karel Steenbrink.

Joseph Kam: Moravian Heart in Reformed Clothing – Susan Nivens http://www.internationalbulletin.org/issues/2011-03/2011-03-164-nivens.pdf 

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)

Antonie Aris van de Loosdrecht

Antonie Aris van de Loosdrecht (Anton) bersama istrinya Alida Petronella van de Loosdrecth-Sizoo (Ida), melakukan perjalanan bulan madunya setelah satu bulan menikah. Perjalanan ini sekaligus menjadi langkah pelayanan misi menuju Tana Toraja, Sulawesi – Indonesia. Sebuah kisah yang bermula dari kuliah umum yang dibawakan seorang lulusan Sekolah Misi di Rotterdam, tahun 1913. Kepandaian pidato dan semangat orang muda ini, mengungkapkan perjalanan Misi baru ke masyarakat Toraja di bagian tengah Sulawesi. Seusainya perkuliahan tersebut, Anton dan Ida bertemu dan segera saling menyukai. Mereka menikah pada tanggal 7 Agustus 1913.

Kepiawaian Anton serta Ida dalam bercerita, tampak di dalam setiap surat yang mereka kirimkan kepada Gereformeerde Zendingsbond (GZB), lembaga misi yang mengutus sepasang suami istri baru ini. Anton dan Ida menggambarkan kota-kota yang terlebih dahulu mereka lewati sebelum mencapai Indonesia. Salah satunya adalah kota Heidelberg. Meskipun di luar jalur perjalanan mereka, namun mereka menyempatkan diri melewati kota di mana Anton pernah menempuh pendidikan Fakultas Teologi. Sederet cerita, ia kisahkan melalui surat-surat yang dapat kita baca pula di masa kini. Keindahan kota Heidelberg, hiruk pikuk dan keceriaan serta keramahan Pelabuhan Tanjung Priok, kesuburan tanah-tanah Pulau Jawa, pemandangan gedung kantor dan rumah di Makassar hingga keindahan alam di kota Palopo dan Rantepao.

Misi yang terlebih dahulu Anton dan Ida ketika tiba di tempat itu adalah mempelajari bahasa, budaya serta kebiasaan sehari-hari masyarakat Tana Toraja. Mereka mendapat bantuan dari Dr. Adriani yang telah bekerja selama 20 tahun di Poso dan juga menerbitkan buku sekolah serta bacaan Alkitab dalam bahasa daerah. Pembelajaran bahasa daerah, tata bahasa dan kosakata, membantu Anton dan Ida melayani masyarakat itu. Masyarakat Tana Toraja sangat menyukai cerita-cerita. Mereka sangat menghargai orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kepiawaian bercerita. Maka, hal ini menjadi pintu masuk bagi Anton untuk memberitakan Injil.

Sulit ketika pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Tana Toraja. Orang kulit putih dari Barat, identik dengan para Kompeni yang menguasai Indonesia pada masa itu. Namun, Anton dan Ida yang tidak segan berinteraksi dengan masyarakat, berkomunikasi secara terbatas dengan bahasa daerah, duduk bersila di lantai rumah, berbicara di tengah pasar dan masih banyak lagi, membuat masyarakat melihat mereka sebagai orang kulit putih yang berbeda dari kulit putih lainnya. Sekolah-sekolah dibuka untuk mengajarkan anak-anak membaca, menulis dan sebagai pintu masuk Injil. Tentu hal ini sulit dimulai karena berbeda dengan adat setempat. Sejak dahulu, tidak pernah ada pendidikan formal melalui sekolah. Lagipula, sekolah ini dibangun oleh orang kulit putih, menjadi sangat mencurigakan bagi masyarakat. Namun, dengan pendekatan melalui kepala daerah maupun kepala suku, perlahan-lahan anak-anak diantarkan ke sekolah pada hari berikutnya oleh orangtua mereka sendiri.

Tantangan terbesar pelayanan misi bagi Anton adalah bukan hanya kepercayaan animisme yang melekat pada masyarakat Toraja. Bukan juga kebiasaan memburu manusia yang masih mereka lakukan. Namun, tantanga tersebut adalah penyebaran Islam yang juga sangat giat oleh suku Bugis. Berjumlah 1.600.000 orang, mereka mendiami semananjung selatan Sulawesi. Secara resmi suku Bugis adalah penganut Islam secara tradisi sejak raja Raja Tallo. Berdasar legenda, ia mengalami pertemuan misterius dengan nabi Muhammad. Maka, Kristen dan Islam, sama-sama mencari pintu masuk kepada masyarakat Toraja. Orang suku Bugis tidak memaksa suku Toraja menganut Islam pada tahun awal, karena dianggap dengan kesetiaan animismenya, membuat mereka mudah dieksploitasi. Namun, dengan banyaknya perkembangan Kristen, semakin banyak juga guru mengaji hingga ustad-ustad yang dikirimkan untuk mengubah penganut animisme ini menjadi penganut “agama yang benar”.

Pendidikan dan ajaran kekristenan hadir melalui sekolah yang dibangun di berbagai daerah, seperti: Naggala, Balusu, Sa’dan, Kalambe, Tondok-litak Pangala, Baruppu, Pali Bituang, Buntao. Keseluruhan murid berjumlah 509 murid. Anton juga sangat rajin berinteraksi dengan kepala suku yang berpengaruh di antara masyarakat. Ia pun melatih orang-orang lokal melalui pemberitaan injil, keterampilan mengajar sehingga pada akhirnya menjadi guru pula di sekolah-sekolah yang ia dirikan.

Kebaikan, keramahan, begitu disenangi dan disegani masyarakat Toraja, tidak membuat perjalananan hidup Anton dalam melayani demikian bahagia. Sekelompok penjudi di daerah Bori, bermaksud balas dendam dengan membunuh Mr. Brouwer. Namun, pada akhirnya bernafsu membunuh siapapun orang kulit putih yang lewat daerah itu. Maka, saat Anton berada di teras rumah guru bersama guru-guru dan pembantu-pembantunya, mendadak seseorang yang tidak dikenal muncul diteras dan langsung menikam jantung Anton dengan tombak. Anton kehilangan banyak darah dan ia tahu waktunya tidak lama lagi. Ia meminta waktu untuk berdoa dan akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat tenang.

Anton meninggal ketika misinya di Tana Toraja baru saja berjalan selama 4 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dengan 3 orang anak. Meski demikian singkat pelayanannya, ia sangat dikenal dan dikasihi masyarakat Toraja dari berbagai daerah yang mengenalnya dari pelayanannya. Ia menjadi misionaris pertama ke Toraja dan juga darah pertama yang tertumpah di Tana Toraja untuk pekerjaan Injil. Gereja dan sekolah yang ia mulai, terus berjalan meskipun ia telah tiada. Tahun 1918, Ida bersama ketiga anaknya pindah ke Solo, Jawa Tengah. Ia dipercayakan untuk mengelola sebuah rumah sakit misi kecil.

Sebuah misteri kasih Tuhan, ketika Tuhan menggerakkan hati seseorang untuk menjadi misionaris. Menuju sebuah daerah yang sangat berbeda budaya, latar belakang bahkan kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupannya selama ini. Namun, ketika Tuhan memanggil, manusia meresponi dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan Tuhan, ia akan mendapat sukacita sejati. Sukacita sejati terlihat dalam kehidupan seseorang, yang masih dapat melihat kemahakuasaan, cinta kasih, kebesaran, keselamatan dan anugerah yang Tuhan berikan kepadanya. Meskipun ia harus dibunuh dari kalangan masyarakat yang ia layani dengan sepenuh hati. Meskipun seorang istri harus kehilangan suaminya yang begitu taat menjalani pekerjaan Tuhan. Meskipun anak-anak yang tahu perlakuan tidak adil anggota masyarakat tersebut kepada kedua orangtuanya. Pada akhirnya, hal ini yang menjadi wujud nyata, bahwa benar Tuhan lah penguasa hidup dan matiku. (Paulina P.)

 

Sumber Bacaan:

Dari Benih Terkecil, Tumbuh Menjadi Pohon; Kisah Anton dan Alida van de Loosdrecht, Misionaris Pertama ke Toraja.

Editor: Anthonia A. van de Loosdrecht – Muller, Jan E. Muller dan Ani Kartikasari.

Diterbitkan oleh: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja 2005

 

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)

Dietrich Bonhoeffer

Dietrich Bonhoeffer adalah seorang teolog, pastor, penulis, musisi dan penulis sejumlah karya fiksi dan puisi. Lahir 4 Februari 1906, lahir di Brelau, Jerman, di keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, baik ayah maupun ibunya. Ia anak keenam yang kemudian memiliki hati dan minat di dalam gereja dan teologi. Tahun 1923, Dietrich memulai sekolah teologinya di Tubingen Universiy. Ia belajar di bawah para teolog ternama di zamannya, yaitu Adolf von Harnack, Hans Lietzmann, and Reinhold Seeberg.  Kecerdasannya di dalam teologi, membawanya cepat menyelesaikan disertasinya, di tahun 1927.

Sejak tahun 1924, Dietrich banyak memikirkan ide mengenai gereja dan komunitas. Tahun 1929, memulai pelayanan gerejawinya di Barcelona. Dietrich seringkali diundang menjadi pembicara di berbagai pertemuan, kongres maupun menjadi sekretaris muda dari World Alliance for Promoting International Friendship.

Rancangan Tuhan akan kehidupan Dietrich Bonhoeffer, menggerakkan hati banyak orang yang mengenalnya, baik selama ia hidup maupun hingga ia akhirnya meninggal dunia. Pada tahun 1933, Adolf Hitler mendapatkan posisi sebagai Chancellor dan kemudian mengambil alih seluruh kontrol sebagai seorang diktator, mengeksekusi setiap orang yang menentangnya hingga melakukan persekusi kepada orang-orang Yahudi.

Beberapa bulan kemudian, Dietrich menulis sebuah esai “The Church and The Jewish Question”. Ia memberikan pandangan yang dianggap membela orang-orang Yahudi. Hal mendapat pertentangan keras dari orang-orang Kristen yang percaya bahwa orang-orang Yahudi telah digantikan oleh mereka, baik di dalam sejarah maupun di mata Tuhan. Di samping itu, bermunculan berbagai orang-orang Protestan yang sangat mendukung dan menyambut kebangkitan Nazi ini. Bahkan, mereka masuk ke dalam gereja-gereja. Mereka pun membuat rancangan agar kitab-kitab Perjanjian Lama, dihapuskan dari Alkitab.

Menjadi bagian dari sisi orang-orang Protestan yang menentang Nazi, Dietrich kemudian dilarang mengajar di University of Berlin karena ceramahnya. Namun, hal ini tidak menghentikan pekerjaannya. Ia mendirikan seminari bawah tanah yang tidak setuju dengan Nazi. Dan ia masih diundang menjadi pembicara di seminar-seminar, seminari bahkan kongres bawah tanah dan tertutup, yang juga menentang Nazi.

Sebuah karya yang ditulis Dietrich berjudul “Life Together”, Dietrich menuliskan kehidupannya sebagai orang Kristen di masa Nazi. Ia harus hidup tetap mengasihi mereka yang membela Nazi tetapi juga harus tetap memiliki posisi tidak setuju terhadap Nazi. Hidup di dalam “persembunyian” dari Nazi, membuatnya merefleksikan kisah Kristus sendiri. Jika, Kristus hidup seperti mereka saat ini, yang hanya hidup di antara saudara-saudara mereka, maka tidak ada keselamatan bagi orang di luar sana. Maka, tahun 1938, ia membuat kontak pertamanya dengan konsporator dalam koneksi politik yang menentang Hitler. Tahun 1941, ia menjadi bagian dari penyelamat orang-orang Yahudi.

Pada tahun 1943, ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara hingga tahun 1945, ia dipindahkan ke Bunchenwald concentration camp. Selama di dalam penjara maupun concetration camp, Bonhoeffer tetap melayani orang-orang yang berada di dalamnya. Memberitakan firman Tuhan, memberikan kekuatan kepada mereka. Bahkan terdapat pegawai penjara yang menjadi pengantar pesannya kepada anggota gereja di luar sana. Karya-karya tulisannya selama 2 tahun di dalam penjara, diterbitkan oleh murid-muridnya dan teman-temannya. Ia dieksekusi mati atas perintah Hitler pada tahun 1945.

Sebuah prasasti dibangun di gereja di Flossenburg, bertuliskan: Dietrich Bonhoeffer, seorang saksi Yesus Kristus di antara saudara-saudaranya. Lahir 4 Februari 1906, di Breslau. Meninggal 9 April 1945, di Flossenburg.

 

Sumber Bacaan:

http://www.dbonhoeffer.org/Biography.html

Life Together – Dietrich Bonhoeffer. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Hidup Bersama”, diterbitkan oleh Perkantas.

 

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)